Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Angraini
Baiq Dwi Suci Angraini Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah Untuk Mengubah Arah

Pegiat dan penikmat karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampanye Anti Jilbab, Bukti Sesat Freedom Of Speech

11 Agustus 2020   17:04 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:00 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka gelontorkan isu radikalisasi di tengah kaum muslimin yang menginginkan perubahan fundamental. Yang berkerudung lebar dicap teroris, yang menjalankan ajaran islam dengan sungguh-sungguh diberi label radikal, hatta yang memperjuangkan pelaksanaan aturan islam pun dilabeli ekstrimis. 

Penyematan jahat ini dilakukan semata untuk menaik rating-kan presentase ide kebebasan beragama, bebas bertingkahlaku, serta bebas tanpa mengenal batasan. Pada akhirnya prinsip "bebas tanpa batasan" menciderai norma agama sebagai standar tertinggi.

Mendudukkan Perkara Jilbab Dengan Benar

Dalam memahami dalil yang bersumber dari Al Qur'an, tidak seharusnya logika remeh temeh didahulukan membelakangi adab terhadap firman Allah. Sebagai seorang intelektual yang meyakini bahwa proses belajar dimulai dengan berpikir dan mengkaji, seharusnya yang dikedepankan adalah kajian menyeluruh dan mendalam, barulah menghasilkan kesimpulan yang benar. Oleh karenanya, apabila ingin dipandang intelek dalam pengkajian islam, tentunya setiap orang harus adil menguliti konteks jilbab. Jika tidak, mendudukkan perkara jilbab selamanya tidak akan pernah selesai.

Tidak pernah ada perbedaan di kalangan ulama' mu'tabar sekalipun mengenai perintah menutup aurat bagi muslimah. Yang terjadi justru kampanye anti jilbab bermunculan dari orang yang sama sekali tidak paham fiqih atau tafsir Qur'an, lalu dengan serampangan menyebutkan terdapat perbedaan cara pandang di kalangan ulama'. 

Mari kita sepakati, bahwa kecacatan fakta yang mereka buat-buat sama artinya menebarkan fitnah ke ulama'. Tuduhan keji yang tidak berdalih bisa dimanfaatkan banyak orang untuk membuat framing negatif terhadap syariat islam.

Oleh karena itu fakta tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum, sebab itulah Allah menurunkan berbagai aturan kehidupan bagi manusia agar kita punya pedoman yang tepat. 

Apabila fakta yang mandul terus dikonsumsi, akibatnya kaum wanita akan menelan mentah-mentah kesimpulan yang salah. Untuk itulah islam hadir mendatangkan sumber hukum yang layak dijadikan acuan, tidak berdasar asumsi, tapi ajeg. Sehingga porsi baku dan patennya hukum berjilbab tidak bisa difleksibelkan berdasarkan perubahan zaman dan waktu.

Baiklah, kita boleh mengonsumsi fakta kekinian bahwa ada beberapa muslimah yang tidak menutup aurat, padahal mereka berasal dari garis keturunan orang alim, sholih, dan terpandang. Ingatlah, pengkonsumsian fakta ini bukan pembenaran untuk membuka aurat dan lantas menjadikan fakta nyeleneh sebagai subjek hukum. 

Meskipun putri Raja Arab, selama mereka tidak menjadikan hukum Allah sebagai asas dalam beramal, maka perbuatan tersebut tertolak secara pasti. Dengan demikian tidak halal bagi siapapun mencontoh kesalahan orang lain, lalu sembrono menghalalkan perbuatan banyak orang untuk buka-bukaan dengan auratnya.

Jilbab bukan soal budaya kearab-araban, bukan juga masuk dalam ranah pilihan yang bisa diambil atau ditinggalkan. Jilbab tidak bisa dipukul rata sama dengan helm, kalau pakai helm tidak kena razia, sebaliknya dengan memakai helm menyelamatkan kepala dari benturan keras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun