Mohon tunggu...
Emsya Bahaudin
Emsya Bahaudin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wah, Ternyata Aku Memang Manusia!

21 Januari 2019   08:51 Diperbarui: 21 Januari 2019   20:18 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kutengok samping kiriku. Eh ada apa ya disana? Ada seorang wanita yang sedang berbicara sambil terisak kepada pria di depannya. Sang pria menatap belahan jiwanya itu dengan pandangan iba dan penuh cinta. Dari mana aku tahu bahwa sang pria penuh dengan cinta? Dari sorot matanya kawan! Sorot mata yang hanya bisa diwakili oleh satu kata: cinta. 

Pada akhirnya pria itu pun mengusap air mata kekasihnya dan menenangkannya. Sungguh pemandangan yang romantis. Andai aku tidak jomblo, loh kok...

Kemudian kuarahkan pandangan ke atas, eh ada apa ya disana? Wah, ternyata ada sarang laba-laba, ada terpal hijau tua penadah hujan, ada rangka besi tenda yang sudah mulai berkarat, ada lampu neon beserta kabelnya, dan sebagainya.

Ketika mengamati lampu tersebut, sesuatu terlintas di benakku: bagaimana ya jika lampu tidak pernah ditemukan? Wajah dunia pada malam hari pasti akan sangat berbeda. Gelap, suram, mencekam dengan penerangan yang seadanya. Atau bisa juga sih malam akan terasa sangat indah dengan gemerlapnya bintang di langit. 

Cahaya lampu pada malam hari memang menciptakan polusi cahaya. Suatu polusi yang dapat menutup indahnya cahaya bintang yang sampai ke bumi. Jika kamu ingin menikmati indahnya langit pada malam hari, pergilah ke satu tempat yang minim polusi cahaya. Disana akan kau temukan keindahan langit malam yang sesungguhnya.

Lanjut....

Setelah melamunkan tentang lampu. Kuarahkan pandangan beberapa meter ke depan. Waw, ada semburan api dari kompor yang sedang memasak nasi goreng. Bayangkan jika api tidak ditemukan. Seperti apa ya makanan yang kita makan dalam keseharian? Kemungkinan besar sangat monoton. Imajinasikan sendiri saja ya?

Aku pun mengalihkan pandangan ke tukang masak dan asistennya. Dalam hati aku bergumam: sungguh mereka memang pekerja keras. Mau pemerintah sejahat apapun kepada rakyatnya, mereka akan tetap bekerja keras. Sejujurnya aku sering becermin pada orang-orang disekelilingku, terutama mereka yang dianggap "rakyat kecil".

Loh, rakyat kok kecil? Bukankah mereka pemilik kapal besar bernama Indonesia ya? Mereka tidak kecil kawan! Mereka besar, mayoritas, dan pekerja keras! Merekalah pilar bangunan paling penting yang ada di NKRI ini.  

Lelah menatap sekitar, aku pun menutup mataku. Ajaib! Dapat kudengar suara semburan api dari kompor gas itu, suara tek tek wajan yang dipukul dengan soled itu, tawa para pelanggan itu, kegembiraan antar teman yang sedang berbagi cerita itu, canda kawan yang bersenda gurau dengan logat khas daerahnya itu.

Eh, dapat juga kudengar suara kucuran dari teko ke dalam gelas itu, suara motor yang melintas itu, suara klakson motor itu, suara kucing mengeong itu, suara petir penanda akan datangnya hujan itu, bahkan dapat kudengar semilir angin yang berhembus mengenai kulitku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun