CIK MING SI GEMPAL
Setelah berbulan menyusuri aliran sungai, akhirnya sampailah Madasir di sebuah nagari nun jauh di sana. Madasir menepih ketepian, menuruni perahu pedang tali air yang telah menemani pengembaraannya. Pohon kelapa berbaris rapih di pinggiran sungai, suasana perkampungan yang ramai menyambut kedatangannya. Tidak ada lagi pohon menjulang berdepa-depa, hanya semak belukar ilalang saja yang tampak mesra berdampingan dengan penduduk.
Madasir begitu asing dengan suasana semacam ini, baru kali ini ia bercengkrama dengan keramaian. Satu dua orang memandang lelaki gagah ini, satu dua orang membungkuk menyodorkan senyum ramah. "Sungguh elok perangai penduduk nagari ini" pikir Madasir. Nagari semacam inilah yang hendak direngkuh Madasir kelak. Alangkah bahagianya ia jika mampu menciptakan nagari sedamai ini.
Madasir terus berjalan menuju perkampungan, mulailah ia memantaskan diri dengan pergaulan kebanyakan orang. "yong, ndai mane?" lelaki bertubuh gempal dengan kumis yang tak pula bisa disebut kumis menghias bibirnya. Warna kulit sedikit gelap, dengan ronah wajah yang sumringah memancarkan keceriaan. Rambut hitam pekat lagi ikal, begitu selaras dengan tubuh mungilnya. Langkah kakinya cepat teratur, menanda kelincahan sang pemuda.
"Ndai ayik yong." Jawab Madasir kaku. "caknye kamu bukan wang sikak yong, ape kamu wang mane?" tutur pria gempal itu.
"Ao, aku wang jauh yong. Mpai sampai sikak, merantau. Ikak nagari ape yong?" timpal Madasir.
"Oh, ikak nagari Babat Punjung yong, payo busik ngan aku" ajaknya. Tanpa dikomando, Madasirpun mulai mengikuti langkah kaki lincah si pria gempal ini. Sembari berjalan Madasirpun membuka kembali percakapan "sape name yong?" tanya Madasir.
"Name ku Cik Ming, aman koyong kak sape name e?" tanyanya. "nameku Madasir yong, aku ndai jauh yong. Dari uluan sungai kitek ikak. Lah tige purname aku di ayik, laju sampai ke sikak" papar Madasir. Cik Ming, pemuda yang sebenarnya sebaya dengan Madasir, hanya saja parasnya nampak lebih tua. Cik Minglah kawan pertama-tama Madasir di nagari ramah ini.
Kedua pemuda yang mulai akrab satu sama lain ini mulai bertukar cerita sepanjang hari. Ketika petang mulai memunculkan ronanya, Cik Ming mengajak Madasir ke pinggiran Nagari. Di depan mereka berdiri sebuah rumah kokoh berdinding kepang, dengan berpuluh tiang penopang. Tidak terlalu menjulang hanya setinggi dada Madasir, beranda rumah sedikit menjorok ke luar, berpagar kayu di sisi kiri dan kanan. Geladak beranda itu lebih rendah dari geladak di dalam rumah. Daun pintu yang terbuat dari bambu yang disusun rapih. Saat mulai menapakkan kaki ke ruang dalam, nampak betul bahwa rumah ini terurus dengan begitu baiknya.
Â
Â