‎Di tengah gelombang digitalisasi yang melanda dunia bisnis global, tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan menjadi semakin kompleks. Regulasi yang berlaku seperti PSAK di Indonesia, IFRS secara global, serta kewajiban OJK untuk emiten dan perusahaan publik mewajibkan entitas menyajikan informasi keuangan yang lengkap, jujur, dan tepat waktu. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa praktik pengungkapan informasi keuangan tidak selalu sejalan dengan semangat regulasi. Di era digital, dilema muncul antara keterbukaan data dan risiko strategis yang mengintai perusahaan.
‎
‎Regulasi: Menjaga Transparansi dan Akuntabilitas
‎‎Pengungkapan informasi keuangan tidak hanya merupakan keharusan administratif, melainkan juga bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Di Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan OJK telah mengatur dengan ketat kewajiban keterbukaan informasi. Dalam tataran global, IFRS mendorong perusahaan untuk menyampaikan data keuangan secara lebih terbuka dan bisa dibandingkan secara internasional.
‎Regulasi ini bertujuan untuk:
- ‎Menjamin perlindungan investor,
- ‎Menekan praktik manipulasi laporan (fraud),
- Menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan berkelanjutan.
‎Namun, regulasi hanya bekerja jika diikuti secara konsisten. Di sinilah persoalan bermula.
‎Realita: Strategi Bisnis yang Terkadang Bertolak Belakang
‎Dalam praktiknya, banyak perusahaan menghadapi tekanan untuk menjaga citra dan nilai perusahaan di mata publik dan investor. Di era digital, informasi menyebar sangat cepat, dan satu data keuangan yang dianggap "buruk" bisa memicu panic selling atau penurunan kepercayaan.
‎Contohnya:
‎Pengungkapan kerugian ditunda atau dikemas dalam bahasa yang tidak lugas,
‎Informasi utang jangka pendek dikaburkan dengan narasi rencana restrukturisasi,
‎Investasi digital dan aset kripto tidak selalu dijelaskan secara memadai karena belum jelas kerangkanya dalam standar akuntansi.
‎
‎Tak jarang pula, perusahaan memilih pengungkapan minimum yang diwajibkan oleh regulator, bukan karena tidak mampu, melainkan sebagai langkah strategis untuk menghindari eksposur risiko tertentu.
‎
‎Dilema di Era Digital
‎‎Di satu sisi, teknologi digital memudahkan akses terhadap laporan keuangan melalui situs web, aplikasi investor, dan keterbukaan real-time. Namun, kemudahan ini membawa dilema baru:
‎
‎Informasi cepat, tapi tidak selalu utuh. Investor ritel yang mengandalkan platform digital sering hanya membaca headline atau rasio keuangan dasar tanpa analisis mendalam.
‎
‎Manipulasi persepsi melalui media sosial dan influencer keuangan. Banyak informasi keuangan yang dibingkai secara emosional dan viral tanpa verifikasi kebenaran data.
‎
‎Risiko kebocoran data dan keamanan sistem pelaporan digital. Beberapa perusahaan ragu mengungkapkan data strategis karena takut diretas atau dicuri pesai
‎Contoh Kasus: Perusahaan Teknologi & Startup
‎‎Startup digital sering kali menghadapi dilema paling rumit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk membuktikan kelayakan bisnis lewat laporan keuangan. Di sisi lain, model bisnis mereka belum menghasilkan profit, sehingga pengungkapan terlalu terbuka bisa menggugurkan kepercayaan investor. Akibatnya, banyak startup hanya mengungkap proyeksi pasar atau gross merchandise value (GMV) tanpa menyertakan net profit margin atau arus kas negatif.
‎
‎Menuju Solusi: Keseimbangan Baru
‎‎Mengatasi dilema ini tidak cukup dengan menambah regulasi. Dibutuhkan pendekatan holistik:
‎
‎Penguatan literasi keuangan digital, baik untuk manajemen perusahaan maupun publik.
‎
‎Penerapan prinsip integrated reporting yang menggabungkan informasi keuangan dan non-keuangan secara naratif dan bermakna.
‎
‎Audit berbasis teknologi yang memastikan data keuangan akurat tanpa memakan waktu panjang.
‎
‎Etika digital dan transparansi sebagai budaya perusahaan, bukan sekadar kewajiban hukum.
‎
‎Era digital menghadirkan peluang dan tantangan dalam praktik pengungkapan informasi keuangan. Regulasi telah memberi fondasi, tetapi praktik di lapangan menunjukkan adanya tarik-menarik antara keinginan untuk terbuka dan kebutuhan untuk melindungi strategi perusahaan. Dilema ini menuntut kedewasaan, etika, dan kecanggihan dari para pelaku bisnis. ‎Ke depan, perusahaan yang mampu menavigasi dilema ini secara cerdas dan jujur akan memenangkan kepercayaan pasar — aset paling berharga di tengah dunia yang serba transparan.
‎‎Sebagai catatan penting, penguasaan terhadap isu-isu strategis seperti ini perlu dibangun sejak bangku perkuliahan. Universitas Bina sarana Informatika (UBSI) hadir sebagai kampus yang tidak hanya membekali mahasiswa dengan teori akuntansi dan teknologi digital, tetapi juga menanamkan etika, daya analisis, dan pemahaman mendalam terhadap praktik bisnis masa kini. Bagi generasi muda yang ingin menjadi profesional akuntansi dan keuangan yang adaptif di era digital, UBSI adalah pilihan tepat untuk masa depan.
‎
‎
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI