Pernahkah Anda membaca sebuah berita, katakanlah tentang kebijakan ekonomi baru atau penemuan ilmiah, lalu iseng membuka kolom komentarnya? Alih-alih menemukan pencerahan, yang kita dapati justru sebuah arena gladiator digital. Ratusan, bahkan ribuan "ahli" dadakan muncul seketika.
Ada yang tiba-tiba menjadi pakar moneter yang menganalisis inflasi hanya berbekal satu paragraf berita. Di sebelahnya, ada "virolog" yang mematahkan riset bertahun-tahun dengan argumen dari grup WhatsApp keluarga. Belum lagi "pengamat" sepak bola yang strateginya lebih jitu dari pelatih tim nasional, atau "kritikus" film yang merasa lebih paham sinematografi daripada sutradaranya sendiri.
Selamat datang di era internet, di mana setiap orang memiliki panggung dan merasa berhak menjadi ahli atas segala hal. Namun, di tengah riuh rendahnya para "pakar" ini, saya sering bertanya-tanya: ke mana perginya diskusi yang sehat dan berisi?
Panggung Kebebasan yang Berubah Jadi Arena Kebencian
Awalnya, media sosial dan kolom komentar adalah berkah. Ia mendemokratisasi informasi dan suara. Rakyat jelata seperti saya dan Anda bisa ikut nimbrung dalam percakapan yang dulunya hanya milik para elite di studio televisi. Kita bisa mengkritik, memberi masukan, dan berbagi perspektif. Sungguh sebuah era keterbukaan yang indah.
Namun, keindahan itu perlahan memudar. Panggung kebebasan itu kini lebih sering terlihat seperti pasar malam yang bising. Semua orang berteriak, ingin suaranya paling kencang, tanpa peduli apakah yang diucapkannya berdasar atau sekadar asumsi.
Fenomena "sok tahu" atau yang secara psikologis sering dikaitkan dengan Dunning-Kruger Effect---di mana seseorang dengan kompetensi rendah justru memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi---menjadi pemandangan sehari-hari. Mereka tidak membaca artikelnya secara utuh, hanya judulnya. Mereka tidak memahami konteks, hanya sepotong video yang viral. Bermodal jempol dan kuota, vonis pun dijatuhkan.
Bukan Lagi Adu Argumen, tapi Adu Erat Ngotot
Perhatikan polanya. Diskusi yang sehat seharusnya melibatkan pertukaran data, logika, dan respek terhadap perbedaan pendapat. Tujuannya adalah untuk mendekati kebenaran atau setidaknya memahami sudut pandang lain.
Namun, yang terjadi sekarang adalah "adu erat ngotot". Tidak ada lagi yang namanya "saya mungkin salah" atau "poin Anda menarik, mari kita diskusikan lebih lanjut". Yang ada hanyalah:
Serangan Personal (Ad Hominem): Ketika argumen habis, data pribadi lawan diserang. "Ah, kamu kan cuma lulusan SMA, tahu apa soal ekonomi?" atau "Akun bodong kok ikut komentar, pasti buzzer!"
Logika Lompat Pagar (Straw Man Fallacy): Memelintir argumen lawan menjadi sesuatu yang konyol dan mudah diserang, padahal bukan itu yang dimaksud.
Merasa Paling Benar: Keyakinan buta bahwa pendapat pribadinya adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Diskusi pun berhenti, berganti menjadi ajang saling merendahkan.
Akibatnya? Orang-orang yang benar-benar paham dan memiliki kompetensi di bidangnya justru memilih diam. Mereka lelah dan enggan menghabiskan energi di tengah lumpur perdebatan kusir. Ruang publik digital pun akhirnya dikuasai oleh mereka yang paling vokal, bukan yang paling berisi.
Bisakah Kita Mengembalikan Diskusi Sehat?
Saya tidak pesimis, tetapi juga tidak naif. Mengubah ekosistem digital yang sudah terlanjur bising ini adalah pekerjaan raksasa. Namun, setidaknya kita bisa memulainya dari diri sendiri. Sebuah langkah kecil yang jika dilakukan bersama-sama, mungkin bisa membawa perubahan.
Pertama, mari menjadi pembaca yang lebih baik. Bacalah informasi secara utuh sebelum berkomentar. Biasakan diri untuk bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya benar-benar paham topik ini, atau saya hanya ikut-ikutan?"
Kedua, belajar untuk tidak setuju secara terhormat. Kita boleh berbeda pendapat, itu esensi demokrasi. Namun, seranglah argumennya, bukan orangnya. Gunakan kalimat seperti, "Saya memahami sudut pandang Anda, tetapi menurut data yang saya baca..."
Ketiga, ketahui kapan harus berhenti. Tidak semua perdebatan harus dimenangkan. Jika diskusi sudah berubah menjadi ajang caci maki, mundur adalah pilihan paling bijak untuk menjaga kewarasan kita.
Kolom komentar adalah cerminan kecil dari masyarakat kita. Jika di ruang sekecil itu saja kita gagal membangun diskusi yang beradab, bagaimana kita bisa berharap untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa yang jauh lebih besar?
Mungkin sudah saatnya kita berhenti berlomba menjadi "ahli" di segala bidang, dan mulai belajar lagi untuk menjadi pendengar yang baik.
Bagaimana menurut Anda?
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI