Mohon tunggu...
Bagus Ikapraja
Bagus Ikapraja Mohon Tunggu... Pustakawan Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan

Nggak semua tulisan harus berat. Yang penting tulus dan nggak bohong.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Punya Ribuan Teman Online, tapi di Dunia Nyata Sering Merasa Sendirian. Anda Juga?

3 Juli 2025   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2025   11:29 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Olahan Pribadi

Saya membuka daftar teman di media sosial, angkanya menunjukkan ribuan. Ada teman lama dari zaman sekolah, rekan kerja dari berbagai kota, hingga kenalan dari komunitas hobi. Secara digital, saya terhubung dengan banyak orang. Tapi anehnya, di beberapa malam, saat notifikasi senyap dan layar ponsel meredup, ada perasaan hampa yang muncul. Perasaan sunyi di tengah keramaian digital.

Lalu saya teringat kehangatan pagi tadi. Seorang ibu penjual sarapan yang sudah saya kenal lama menyapa dengan senyum tulus, 'Sarapan apa, Mas? Tumben pagi sekali.' Obrolan singkat yang tak lebih dari lima menit itu terasa begitu nyata dan hangat, sebuah koneksi yang tak bisa tergantikan oleh ribuan 'likes'.

Perasaan ganjil ini, memiliki banyak koneksi tapi merasa kesepian, ternyata adalah sebuah isu global yang mendalam. Isu ini menjadi tren terakhir yang paling menyentuh hati saya dari laporan IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions) Trend Report 2024, yaitu "People Are Seeking Community Connections".

Epidemi Sunyi di Era Digital

Mungkin terdengar berlebihan, tapi laporan IFLA mengutip data serius dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengakui isolasi sosial dan kesepian sebagai prioritas kesehatan global. Dampaknya terhadap kesehatan fisik dan mental bahkan disebut setara dengan risiko merokok atau obesitas. Fenomena ini tidak hanya menyerang lansia, tetapi juga para remaja. Pandemi beberapa tahun lalu pun ikut memperburuk keadaan dengan melemahkan ikatan sosial kita.

Sejauh Apapun 'Terbang', Pulangnya Tetap ke 'Sarang' Lokal

Sebagai respons dari rasa keterasingan ini, muncul sebuah gerakan balik yang kuat. Laporan IFLA menemukan bahwa orang-orang kini secara sadar mencari dan memprioritaskan koneksi tatap muka yang berharga di komunitas lokal mereka. Tren bekerja dari rumah (remote work) yang semakin masif juga menjadi pendorong utama. Ketika kita lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan sekitar, kita mulai menyadari pentingnya menyapa tetangga, ikut kerja bakti, atau sekadar nongkrong di warung kopi lokal. Kita kembali ke "sarang", membangun kembali kohesi sosial dari unit terkecil.

Dari Grup Hobi hingga Skuad 'Mabar': Komunitas Online Juga Penting

Menariknya, pencarian akan koneksi ini tidak berarti kita harus meninggalkan dunia digital. Justru sebaliknya. Komunitas online yang terbentuk berdasarkan minat dan hobi yang sama terus tumbuh subur. Mulai dari grup pecinta tanaman hias, komunitas penulis, hingga "skuad mabar" (main bareng) di dunia gaming yang terbukti ampuh mengurangi rasa sepi selama pandemi. Di ruang-ruang virtual inilah kita bisa menemukan orang-orang yang "sefrekuensi", berbagi tawa dan pengetahuan melintasi batas geografis.

Pada hakikatnya, kita adalah makhluk sosial. Laporan IFLA ini seakan mengkonfirmasi bahwa secanggih apa pun teknologi yang kita ciptakan, kebutuhan dasar manusia untuk terhubung tidak akan pernah lekang oleh waktu. Kita akan selalu mencari "rumah", baik itu di sanggar seni lokal, di perpustakaan yang kini menjadi ruang komunal, maupun di dalam server sebuah game online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun