Mohon tunggu...
Bagus Darmawan
Bagus Darmawan Mohon Tunggu... Alumni PKN FISIP UNNES & Mahasiswa PPG Prajabatan UNSRI

Politik and Civic Education

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebuah Opini. Pendidikan Karakter oleh Militer: Dimana letak kuasa Guru dan Orang Tua?

13 Mei 2025   12:31 Diperbarui: 13 Mei 2025   17:02 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belakangan ini, muncul wacana tentang pelibatan militer dalam pendidikan karakter peserta didik. Salah satu yang menyuarakan hal ini adalah Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, yang menyatakan bahwa nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, serta cinta tanah air dapat dibentuk melalui pelatihan bersama pihak militer. Gagasan ini tentu mengundang beragam respons dari masyarakat, termasuk dari kalangan pendidik. Dimana dilansir dari Kompas.com mulai berjalan ditanggal 2 Mei 2025. 

Sebagai seorang calon guru, saya memandang bahwa pada prinsipnya pendidikan karakter memang memerlukan keterlibatan banyak pihak. Kehadiran militer, apabila ditempatkan secara proporsional, bisa menjadi pelengkap yang memberikan warna tersendiri, terutama dalam menanamkan nilai kedisiplinan dan semangat bela negara. Namun, di balik wacana tersebut, ada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah penyerahan sebagian peran pendidikan karakter kepada militer berarti melemahkan kuasa guru?

Saat ini, peran dan kewenangan guru dalam mendidik karakter siswa tidak sekuat dahulu. Ketika guru mencoba memberikan ketegasan yang sejatinya merupakan bagian dari proses pembentukan karakter tidak jarang mereka justru menghadapi pelaporan dari orang tua murid atau bahkan aparat hukum. Fenomena ini secara tidak langsung menciptakan ruang ketidaknyamanan bagi guru dalam menjalankan fungsi pendidikannya secara utuh.

Jika guru tidak lagi memiliki ruang yang cukup untuk mendidik secara tegas dan berkarakter, maka tentu akan terjadi ketimpangan dalam proses pembentukan nilai-nilai pada diri peserta didik. Dalam hal ini, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah peran membentuk karakter hanya akan diberikan kepada pihak luar seperti militer? Lalu bagaimana dengan kapasitas guru yang memang selama ini menjalani proses pendidikan karakter setiap hari bersama peserta didik?

Lebih jauh, penting juga untuk mengingat bahwa pendidikan karakter sejatinya bermula dari rumah. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk pribadi seorang anak. Namun, tidak jarang kita menemukan kecenderungan orang tua menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan karakter kepada sekolah dan guru. Ketika terjadi pelanggaran kedisiplinan oleh anak, guru disalahkan; sementara fungsi kontrol dan pembiasaan dari rumah luput dari perhatian. Yang lebih penting adalah mengembalikan kepercayaan terhadap guru sebagai sosok pendidik karakter di sekolah, serta menguatkan kembali fungsi keluarga dalam mendampingi tumbuh kembang anak, bukan sekadar menyerahkan segalanya kepada sekolah.

Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama. Guru, orang tua, masyarakat, hingga pemerintah seharusnya saling bekerja sama, bukan saling mengandalkan satu pihak. Jika tidak, maka kita akan terjebak pada sistem pendidikan yang hanya seremonial, tanpa fondasi nilai yang kuat dan berkelanjutan.

Lalu, Jika Kembali ke Sekolah dan Siswa Masih Nakal, Apa yang Harus Guru Lakukan?

Pertanyaan krusial yang kemudian muncul adalah: jika peserta didik telah mengikuti pelatihan kedisiplinan atau pendidikan karakter melalui pendekatan militer, namun setelah kembali ke sekolah mereka tetap menunjukkan perilaku menyimpang atau tidak disiplin, bagaimana guru harus menanganinya?

Kondisi ini bukan hal yang mustahil. Sebab pendidikan karakter bukanlah proses instan. Ia tidak bisa dibentuk hanya melalui satu program, satu pelatihan, atau satu kegiatan seremonial. Karakter adalah hasil dari proses panjang, berulang, dan konsisten yang melibatkan interaksi sehari-hari, pembiasaan, serta keteladanan. Maka, ketika siswa menunjukkan kembali perilaku negatif, guru akan tetap menjadi ujung tombak dalam menyikapinya.

Namun, di sinilah letak persoalannya. Guru saat ini menghadapi keterbatasan dalam menegakkan ketegasan. Banyak guru merasa serba salah ketika harus menegur atau memberikan sanksi pembinaan. Ketika guru mencoba bersikap tegas, risiko yang muncul bukan hanya protes dari peserta didik, tetapi juga dari orang tua yang kerap kali tidak menerima jika anaknya ditegur atau diberikan sanksi, bahkan sampai membawa perkara tersebut ke ranah hukum atau media sosial.

Situasi ini tentu menciptakan dilema. Di satu sisi, guru dituntut membentuk karakter dan sikap baik peserta didik. Namun di sisi lain, ruang untuk mendidik dengan tegas semakin menyempit. Padahal, mendidik tidak selalu identik dengan memanjakan. Ketegasan yang dibarengi dengan kepedulian dan nilai-nilai kemanusiaan adalah bagian penting dari pendidikan karakter itu sendiri.

Membangun Kembali Otoritas Guru dan Peran Kolektif

Untuk mengatasi persoalan ini, perlu ada langkah konkret yang dilakukan secara bersama-sama. Pertama, guru perlu mendapatkan perlindungan hukum yang jelas dan berpihak. Ketegasan guru yang mendidik harus dibedakan dengan tindakan kekerasan. Negara, melalui kebijakan pendidikan, perlu memastikan bahwa guru tetap memiliki otoritas pedagogis yang kuat.

Kedua, sekolah perlu membangun budaya yang mendukung pendidikan karakter secara kolektif, bukan hanya dibebankan kepada individu guru. Artinya, seluruh ekosistem sekolah termasuk kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan pengawas harus satu suara dalam memberikan ruang dan dukungan kepada guru dalam menangani perilaku siswa.

Ketiga, yang tak kalah penting, adalah pelibatan aktif orang tua. Pendidikan karakter yang efektif hanya bisa tercipta jika orang tua dan guru memiliki visi yang sejalan. Sekolah tidak bisa menjadi tempat pelimpahan tanggung jawab sepihak. Ketika anak berperilaku menyimpang, sekolah dan keluarga harus duduk bersama untuk mencari solusi, bukan saling menyalahkan.

Dengan demikian, pelatihan karakter oleh pihak militer dapat menjadi pelengkap. Setelah siswa kembali ke sekolah, peran guru tetap vital dalam mengawal perubahan perilaku tersebut. Namun agar guru mampu menjalankan perannya dengan optimal, perlu ada dukungan struktural, sosial, dan moral dari berbagai pihak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun