Mohon tunggu...
Bagus Yudananto N
Bagus Yudananto N Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi bidang Marketing Communication dan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi

Urip Iku Urup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia, Industri Budaya, dan Komunikasi Global

1 Desember 2020   13:59 Diperbarui: 1 Desember 2020   14:16 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://lifestyle.bisnis.com/

Globalisasi lagi-lagi menjadi topik yang menarik untuk selalu dibahas. Dampak dari proses dan perkembangan globalisasi yang terjadi nyatanya menimbulkan efek beruntun bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk adanya peran pemangku kebijakan yang turut ambil bagian memainkan dominasi demi kepentingannya. 

Tak hanya itu, globalisasi kini juga mempengaruhi eksistensi budaya yang sudah turun-temurun dilestarikan, dengan sekejap globalisasi membawa kekhawatiran akan terkikisnya budaya-budaya lokal yang diakibatkan dari adanya budaya luar yang dibawa oleh masyarakat. 

Saat ini batasan jarak bahkan hampir tidak ada, masyarakat dengan mudahnya melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat yang lain, peran teknologi juga menjadikan persebaran informasi dikirimkan dan diterima begitu cepat, munculnya media turut menambah efek dari paparan media di tengah-tengah masyarakat. 

Menurut Kamalipour & Artz (2003) media kini menjadi alat dalam mengkonstruksi identitas sosial dan budaya. Tak heran bila beberapa tahun terakhir terpaan media internasional dan produk-produk industri kreatif seperti film, lagu, buku dari negara-negara barat (khususnya negara maju) turut berdampak pada terkikisnya budaya lokal. 

Dalam kajian ini, produk industri kebudayaan seperti film dan lagu memang menarik untuk diulas. Bila berbicara mengenai film, sebagian dari kita akan mengakui bahwa kiblat dari industri perfilman adalah Hollywood (Amerika Serikat), tak mengherankan bila pada akhirnya dominasi Hollywood ini kemudian menghambat industri film tanah air bahkan secara tidak langsung akan mempengaruhi budaya anak muda di Indonesia.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2019, bahwa pangsa pasar nasional dari film Indonesia baru sebanyak 35%, berbeda dengan film luar negeri yang mencapai 65%. 

Walaupun prosentase pangsa nasional masih dibawah 50%, namun hal tersebut ternyata menjadi hal cukup baik bagi industri film tanah air. Berdasarkan data SMRC (2019), umumnya pangsa pasar di negara-negara Eropa justru memiliki market share dibawah 30%, artinya industri film Indonesia bisa dibilang lebih baik dari negara-negara di Eropa.

Data tersebut dapat menjadi sebuah rujukan akan "angin segar" bagi industri film di Indonesia, yang nantinya akan berdampak pula pada pengenalan budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia melalui film-film yang dihasilkan oleh anak bangsa. 

Sebut saja film Turah, Bali: Beats of Paradise, Aruna dan Lidahnya, Mantan Manten, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, dan Kucumbu Tubuh Indahku yang membawa latar budaya Indonesia ke kancah Internasional. Bahkan rumah produksi internasional pun pernah juga mengangkat latar budaya Indonesia seperti film Eat, Pray, Love yang menggambarkan keharmonisan budaya Bali. 

Dari beberapa contoh film tersebut, ada yang menarik perhatian saya yaitu film Bali: Beats of Paradise karya Livi Zheng. Film ini menceritakan mengenai perjalanan hidup seorang penari dan seniman gamelan yaitu I Nyoman Wenten yang tinggal bersama istrinya di Los Angeles, Amerika Serikat. Film ini kemudian mengangkat kebudayaan Indonesia di melalui alat tradisional yang coba terus dilestarikan walaupun tinggal dan menetap dan tinggal di luar negeri.

Film Bali: Beats of Paradise tersebut mengingatkan saya akan istilah contra-flow mengenai sebuah pergerakan budaya dimana seorang individu dikatakan hidup di antara berbagai budaya. 

Dengan kata lain, seorang individu harus menjalani cara hidup baru di daerah asing, namun di satu sisi individu ini mempertahankan cara hidup maupun budaya lama mereka. Di Indonesia sendiri, contra-flow seperti ini memang telah dirasakan oleh para keturunan Tionghoa. Mulai berkembagnnya penduduk Tionghoa di Indonesia juga dilihat oleh industri media seperti Metro TV yang memiliki program khusus berbahasa Mandarin. 

Namun, hal yang cukup mengejutkan adalah ternyata fakta bahwa Indonesia menjadi negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia ternyata justru tidak adanya produk budaya yang mampu mengangkat ke-khas-an dari Indonesia. Tentu ini menjadi refleksi bersama bahwa seharusnya hal tersebut menjadi sebuah peluang bagi Indonesia agar dapat dikenal secara luas sama halnya seperti produk budaya Bollywood milik India hingga Telenovela milik Amerika Latin.

Lagi-lagi era keterbukaan informasi di era globalisasi ini bisa jadi sebuah ancaman maupun peluang, tergantung bagaimana menyikapinya. Kemajuan teknologi juga sejatinya dapat dimanfaatkan sebagai sarana dan medium bagi pelestarian nilai-nilai budaya lokal agar tidak terkikis oleh paparan dari budaya asing yang masuk melalui media.

Daftar Pustaka

  1. Kamalipour, Yahya R., & Artz, Lee. (2003). The Globalization of Corporate Media Hegemony. State University of New York Press: New York, USA. 

  2. Website resmi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) diakses pada tanggal 30  November 2020 pada pukul 22.00 melalui https://saifulmujani.com/kebangkitan-film-indonesia/ .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun