Suatu pagi di tahun 2035, seorang ibu menyiapkan sarapan untuk anaknya. Di piring ada daging sapi, tapi tidak ada sapi yang disembelih. Susunya berasal dari mikroorganisme yang diprogram menghasilkan protein susu. Dan roti yang disantap mengandung serat hasil rekayasa tanaman yang bisa menyesuaikan kandungan nutrisinya dengan kebutuhan tubuh anak itu.
Terdengar seperti fiksi ilmiah? Nyatanya, fondasi teknologi ini sudah mulai dibangun sekarang dan itu semua berkat bioteknologi, cabang ilmu yang menggabungkan biologi, rekayasa genetika, dan teknologi canggih untuk mengubah cara kita memproduksi makanan. Dengan tekanan populasi dunia yang terus tumbuh dan krisis iklim yang mengancam ketahanan pangan global, bioteknologi muncul sebagai solusi masa depan yang mulai terasa dampaknya sejak hari ini.
Apa Itu Bioteknologi Pangan?
Bioteknologi pangan adalah penerapan prinsip biologi molekuler dan rekayasa genetika untuk mengembangkan produk pangan yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih efisien dalam produksinya. Dalam praktiknya, bioteknologi dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman yang tahan penyakit, mikroorganisme yang memproduksi protein makanan, hingga kultur sel hewan yang menghasilkan daging tanpa perlu menyembelih.
Contoh penerapan nyatanya sudah banyak. Misalnya, rekayasa genetika memungkinkan ilmuwan menciptakan jagung yang tahan terhadap hama tertentu tanpa perlu disemprot pestisida secara berlebihan. Fermentasi presisi memungkinkan produksi enzim dan protein seperti kasein (komponen utama susu) atau ovalbumin (protein telur) melalui mikroorganisme. Bahkan, pengembangan tanaman melalui teknologi CRISPR memungkinkan modifikasi gen dengan presisi tinggi, tanpa menyisipkan gen dari spesies lain---hal ini penting bagi negara-negara dengan regulasi ketat terhadap GMO.
Masalah Sistem Pangan Global Saat Ini
Kita hidup dalam sistem pangan yang sedang berada di bawah tekanan besar. Menurut FAO (2022), populasi dunia yang diproyeksikan mencapai 9,7 miliar pada tahun 2050 akan mendorong peningkatan permintaan pangan hingga 60%. Namun di sisi lain, lahan pertanian semakin menyusut akibat urbanisasi, dan perubahan iklim menyebabkan ketidakpastian panen, kekeringan ekstrem, serta penyebaran hama baru.
Selain itu, produksi makanan, khususnya dari sektor peternakan, sangat intensif sumber daya. Produksi daging menyumbang sekitar 14,5% emisi gas rumah kaca global (FAO, 2020), belum lagi konsumsi air dan lahan yang sangat tinggi. Sistem pangan saat ini juga menghasilkan limbah yang sangat besar, sementara masih banyak populasi dunia yang kekurangan nutrisi.
Inilah celah yang ingin diisi oleh bioteknologi: menciptakan sistem pangan yang tidak hanya mencukupi kebutuhan populasi dunia, tetapi juga bertanggung jawab secara lingkungan dan etis.
Inovasi Daging Tanpa Sembelihan
Salah satu lompatan terbesar dalam bioteknologi pangan adalah daging hasil kultur sel atau cultured meat. Teknologi ini mengembangkan daging langsung dari sel otot hewan tanpa harus memelihara atau menyembelih hewan tersebut. Sel hewan diambil melalui prosedur biopsi kecil, kemudian ditumbuhkan dalam medium nutrisi kaya yang menyerupai lingkungan tubuh hewan.
Perusahaan seperti Eat Just, Mosa Meat, dan GOOD Meat telah memimpin inovasi ini. Pada 2020, Eat Just menjadi perusahaan pertama di dunia yang menjual ayam hasil kultur di Singapura. Tiga tahun kemudian, GOOD Meat mendapatkan persetujuan dari FDA dan USDA untuk mendistribusikan produknya di AS. Penelitian Tuomisto & Teixeira de Mattos (2011) memperkirakan bahwa daging kultur bisa mengurangi konsumsi energi hingga 45%, emisi gas rumah kaca hingga 96%, serta penggunaan lahan hingga 99% dibandingkan daging konvensional.
Namun, daging kultur masih menghadapi tantangan besar dalam hal biaya produksi, regulasi, dan penerimaan konsumen. Tapi potensi jangka panjangnya sangat besar, terutama sebagai alternatif berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dunia.