Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keracunan MBG Merupakan Tanggung Jawab Bersama

26 September 2025   12:10 Diperbarui: 26 September 2025   18:32 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak mengonsumsi MBAG | Sumber gambar: Annie Spratt

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah langkah strategis pemerintah dalam meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia. Namun, di balik semangat mulia ini, tersimpan tantangan besar: bagaimana memastikan makanan yang disajikan aman dan memenuhi standar kesehatan?

Belum lagi, dengan adanya beberapa kasus keracunan makanan yang bermunculan di berbagai media, ini sudah menjadi pertanyaan besar, bahwa "Siapa yang sangat bertanggung jawab atas kejadian luar biasa mengenai keracunan makanan di beberapa sekolah di Indonesia?". Mulai dari penyelenggara MBG, kemudian para pengelola dapur MBG, hingga pada akhirnya merujuk pada satu profesi yaitu seorang Ahli Gizi.

Beberapa waktu terakhir, peran ahli gizi sering menjadi sorotan. Mereka dianggap sebagai pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab. Padahal, keamanan pangan tidak mungkin hanya dipikul oleh satu profesi. Dari penyedia bahan, tenaga dapur, sekolah, hingga regulator, semua pihak harus terlibat aktif menjaga standar yang sama yaitu, Makanan Bergizi Aman dan Bergizi (MBAG).

Keamanan Pangan Bukan Tugas Satu Profesi

Ahli gizi memang penting dalam memastikan kecukupan energi dan kualitas gizi. Namun, keamanan pangan mencakup hal yang lebih luas. Semua itu dimulai dari pemilihan bahan, kebersihan dapur, kondisi pekerja, hingga proses distribusi. Semua tahapan ini melibatkan berbagai pihak, bukan hanya ahli gizi.

Dengan kata lain, ketika terjadi kasus keracunan, mencari kambing hitam pada satu profesi tidak membantu. Justru yang diperlukan adalah kesadaran bahwa keamanan pangan adalah tanggung jawab kolektif. Pemecahan masalah itu bukan hanya terkait siapa personil yang bertanggung jawab. Pemecahan masalah dan analisa resiko itu dilakukan untuk kita, baik SPPG dan juga penanggung jawab dapat menyelesaikan masalah melalui analisa yang matang.

Contohnya, masalah di sekolah A mengalami keracunan akibat makanan dengan menu ikan goreng, lalapan, susu UHT, potongan semangka, dan telur dadar. Setelah diketahui menunya apa, kemudian kita petakan lagi, di mana sumber dapur MBG? Sekolah? atau ada dapur bersamanya? 

Setelah itu, rumuskan lagi, kapan makanan itu dimasak? Berapa lama makanan itu diam di dapur MBG hingga pada akhirnya didstribusikan ke sekola A? Kemudian, apakah kendaraan distribusinya bersih? Tidak ada kotoran atau debu? Seberapa sering dibersihkannya?

Selanjutnya, bagaimana kondisi penyimpanan selama makanan itu didiamkan? Disimpan terbuka? Disimpan dalam box? Kemudian kebersihan wadah tempat makannya seperti apa? Seberapa bersih pencucian wadahnya? Seberapa higienis kah para pekerjanya dan bagaimana APD yang digunakan dalam pengolahan makanannya tersebut?

Hingga pada akhirnya, bagaimana bahan baku makanan itu disimpan? Apakah telurnya masih bagus? Apakah ikannya segar? Apakah buah semangkanya ada bagian yang busuk atau berjamur? Apakah susu UHTnya sudah masuk ke masa expired? Apakah Lalapannya ini memang sudah bersih?

Seharusnya, sebagai pemilik dapur dan juga penanggung jawab, memiliki kesadaran dan kemampuan berpikir seperti ini. Sebagai pemilik dapur atau disebut dengan mitra, SPPG ini, alangkah baiknya memiliki pemikiran bahwa "Dapur saya harus bersih, terstandar internasional, atau paling tidak meskipun sederhana tetapi pegawainya mempunyai kesadaran mengenai pentingnya menjaga kebersihan fasilitas dan diri sendiri".

Nah, kehadiran PJ selain menjadi pengawas tetapi juga sebagai fasilitator dalam menjaga keamanan pangan dan keberlangsungan operasional dapur MBG tetap berada dalam koridor yang baik. 

Tetapi, kenyataan pahitnya juga adalah banyak pegawai atau operator yang dinilai bandel hanya karena dengan alasan "gerah, susah pengerjaannya, atau malah merasa ribet dan tidak mau mengikuti aturan yang berlaku" atau ditambah alasan klasik "ah, saya bikin makanan tanpa harus ini itu aman aja kok, keluarga saya sehat-sehat saja". Sungguh kesesatan berpikir.

Jadi, keamanan pangan dan keberhasilan MBG ini adalah tanggung jawab bersama, bukan lagi mempersoalkan "Siapa sih ahli gizinya?"

Peran Penting SPPG

Di bawah Badan Gizi Nasional (BGN), penyedia makanan untuk MBG dikenal sebagai SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Mereka inilah yang menjadi ujung tombak distribusi makanan bergizi di sekolah-sekolah.

Dalam proses pengajuan dan verifikasi, SPPG diwajibkan memenuhi sejumlah dokumen dan standar. Salah satu yang paling krusial adalah sertifikat laik hygiene dari Dinas Kesehatan. Sertifikat ini memastikan bahwa pengelolaan makanan dilakukan sesuai aturan sanitasi pangan, mulai dari bahan baku, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sertifikat ini kadang hanya dianggap formalitas. Padahal, jika benar-benar diterapkan, standar laik hygiene sudah cukup menjadi fondasi kuat mencegah kasus kontaminasi pangan di sekolah.

Ada beberapa penyebab mengapa keamanan pangan dalam program MBG masih rawan:

  1. Sertifikasi hanya jadi formalitas. Dokumen ada, tetapi implementasi lemah.

  2. Pengawasan tidak konsisten. Setelah sertifikat keluar, jarang ada evaluasi berkala.

  3. Minim koordinasi lintas pihak. Ahli gizi, sekolah, dan penyedia sering bekerja sendiri-sendiri.

  4. Budaya reaktif. Sistem hanya bergerak setelah ada kasus keracunan, bukan mencegah sejak awal.

Kritik dan Solusi untuk BGN

Tidak ada habisnya melalui kejadian ini, saya meminta tolong kepada pejabat BGN sebagai pengambil kebijakan, untuk memiliki peran sentral dalam mengubah keadaan ini. Ada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan:

  1. Wajibkan semua SPPG memiliki sertifikat laik hygiene. Ini harus menjadi syarat mutlak, bukan sekadar formalitas administrasi.

  2. Perkuat pengawasan dan evaluasi. Sertifikat bukan akhir, melainkan awal dari proses pengawasan berkelanjutan.

  3. Terapkan audit berlapis. Dinas Kesehatan, sekolah, dan BGN harus punya mekanisme audit rutin yang saling menguatkan. Audit yang dilakukan secara tepat, bukan hanya sebagai formalitas. Wajib dilakukan audit berkala atau biasa disebut surveilan

  4. Berdayakan semua pihak. Kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua harus mendapat edukasi dasar tentang higiene pangan.

  5. Dorong sekolah memiliki dapur MBG sendiri. Dengan dapur yang diawasi langsung, kualitas lebih mudah dikontrol, dan tenant kantin bisa diberdayakan mengikuti prosedur yang seragam atau memberdayakan kantin sekolah untuk dilatih dan dibantu pembuatan infrastruktur yang sesuai dengan kaidah keamanan pangan

  6. Bekali diri dengan pengetahuan mengenai keamanan pangan, cara pengolahan pangan yang baik, dan memahami mengenai kegiatan operasional serta tantangan distribusi makanan bergizi tersebut,

Kemudian, kita bisa mencontoh untuk beberapa sekolah-sekolah yang sudah sukses menjalankan program kantin sehat membuktikan bahwa kuncinya ada pada kolaborasi. SPPG bersertifikat laik hygiene, pengawasan rutin dari Dinas Kesehatan, serta peran aktif sekolah dalam menjaga kebersihan dapur membuat makanan yang tersaji tidak hanya bergizi, tetapi juga aman.

Kesimpulan

Program MBG bisa menjadi tonggak sejarah perbaikan gizi di Indonesia. Namun, tanpa keamanan pangan, niat baik ini bisa berubah menjadi bumerang.

Keamanan pangan bukan hanya tanggung jawab ahli gizi, melainkan tanggung jawab semua pihak. Kritik terbesar saat ini ada pada lemahnya implementasi sertifikat laik hygiene di lapangan. Karena itu, BGN harus memastikan semua SPPG memiliki sertifikat laik hygiene dan mengawalnya hingga benar-benar diterapkan.

Dengan langkah ini, MBG tidak hanya memberi makan, tetapi memberi makan yang aman, sehat, dan bermartabat bagi generasi penerus bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun