Nah, kehadiran PJ selain menjadi pengawas tetapi juga sebagai fasilitator dalam menjaga keamanan pangan dan keberlangsungan operasional dapur MBG tetap berada dalam koridor yang baik.Â
Tetapi, kenyataan pahitnya juga adalah banyak pegawai atau operator yang dinilai bandel hanya karena dengan alasan "gerah, susah pengerjaannya, atau malah merasa ribet dan tidak mau mengikuti aturan yang berlaku" atau ditambah alasan klasik "ah, saya bikin makanan tanpa harus ini itu aman aja kok, keluarga saya sehat-sehat saja". Sungguh kesesatan berpikir.
Jadi, keamanan pangan dan keberhasilan MBG ini adalah tanggung jawab bersama, bukan lagi mempersoalkan "Siapa sih ahli gizinya?"
Peran Penting SPPG
Di bawah Badan Gizi Nasional (BGN), penyedia makanan untuk MBG dikenal sebagai SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Mereka inilah yang menjadi ujung tombak distribusi makanan bergizi di sekolah-sekolah.
Dalam proses pengajuan dan verifikasi, SPPG diwajibkan memenuhi sejumlah dokumen dan standar. Salah satu yang paling krusial adalah sertifikat laik hygiene dari Dinas Kesehatan. Sertifikat ini memastikan bahwa pengelolaan makanan dilakukan sesuai aturan sanitasi pangan, mulai dari bahan baku, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sertifikat ini kadang hanya dianggap formalitas. Padahal, jika benar-benar diterapkan, standar laik hygiene sudah cukup menjadi fondasi kuat mencegah kasus kontaminasi pangan di sekolah.
Ada beberapa penyebab mengapa keamanan pangan dalam program MBG masih rawan:
Sertifikasi hanya jadi formalitas. Dokumen ada, tetapi implementasi lemah.
Pengawasan tidak konsisten. Setelah sertifikat keluar, jarang ada evaluasi berkala.
Minim koordinasi lintas pihak. Ahli gizi, sekolah, dan penyedia sering bekerja sendiri-sendiri.
Budaya reaktif. Sistem hanya bergerak setelah ada kasus keracunan, bukan mencegah sejak awal.