Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Darurat Keracunan Makanan

19 September 2025   12:09 Diperbarui: 19 September 2025   13:27 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustras- Menu makanan sekolah. (Kompas.com/M. Elgana Mubarokah)

Kasus keracunan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) semakin sering terdengar, dan kini bukan lagi insiden kecil yang bisa dianggap biasa. Anak-anak yang seharusnya mendapat asupan sehat justru berakhir di rumah sakit dengan gejala mual, muntah, diare, bahkan ada yang mengalami kejang. Situasi ini menandakan darurat keamanan pangan. 

Jika dibiarkan, kepercayaan publik terhadap MBG bisa runtuh, padahal program ini merupakan tulang punggung upaya perbaikan gizi nasional.

Angka yang Mencemaskan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat ada 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terkait MBG di 10 provinsi sejak Januari hingga Mei 2025 (CNN Indonesia, 2025). Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan melaporkan bahwa hingga pertengahan September 2025, sekitar 5.360 siswa telah menjadi korban keracunan akibat MBG (Harian Jogja, 2025).

Kasusnya tersebar di berbagai daerah, seperti 214 siswa di Bogor, 165 siswa di Cianjur, 400 siswa di Tasikmalaya, hingga 173 siswa di Sumatera Selatan (Liputan6, 2025). Angka-angka ini menunjukkan masalahnya bersifat sistemik, bukan sekadar kelalaian lokal.

Pada sejumlah kasus, anak-anak mengalami kejang setelah keracunan makanan. Hal ini dapat dijelaskan secara medis. Demam tinggi akibat infeksi bakteri sering memicu kejang demam pada anak usia sekolah. Selain itu, muntah dan diare berulang dapat menyebabkan dehidrasi dan gangguan elektrolit seperti hiponatremia, yang juga memicu kejang. Dalam kondisi berat, bila bakteri melepas endotoksin hingga menyebabkan sepsis, komplikasi neurologis semakin mungkin terjadi.

Dengan kata lain, keracunan MBG bukan hanya soal perut sakit, tetapi bisa berdampak serius pada keselamatan anak.

Ilustrasi Keracunan makanan | Sumber: AI
Ilustrasi Keracunan makanan | Sumber: AI

Distribusi Panjang dan Dapur Mitra

Sumber masalah utama dari MBG adalah sistem distribusi makanan. Makanan dimasak di dapur mitra, lalu dikirim ke sekolah-sekolah dengan jarak tempuh panjang. Selama perjalanan, makanan sering berada di suhu tidak aman, memberi kesempatan bakteri seperti Salmonella atau E. coli berkembang biak.

Selain itu, tidak semua dapur mitra memiliki standar higienitas tinggi. Tenaga dapur sering kali belum terlatih, fasilitas sanitasi terbatas, dan kontrol bahan baku minim. Akibatnya, makanan yang tiba di sekolah sudah dalam kondisi rawan kontaminasi.

Negara-negara maju menempatkan keamanan pangan di jantung program makanan sekolah. Jepang, misalnya, mewajibkan setiap sekolah memiliki dapur sendiri. Makanan dimasak mendekati jam makan dan langsung dikonsumsi, sehingga risiko kontaminasi minimal. Finlandia dan Korea Selatan juga menekankan dapur lokal dengan kontrol ketat, audit rutin, serta keterlibatan pemerintah daerah.

Solusi untuk Badan Gizi Nasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun