Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pentingnya Membuang Air Sabun Bekas Cucian Karena Bisa "Basi"

27 April 2025   11:41 Diperbarui: 1 Mei 2025   18:56 2236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saat saya berselancar di YouTube untuk mencari ide membuat artikel, saya menemukan sebuah video yang membahas tentang pentingnya segera membuang air sabun setelah mencuci piring. Narasumber dalam video tersebut mengatakan bahwa air sabun bisa "basi" dalam waktu 12 jam. Seketika, pernyataan ini membuat saya berhenti sejenak dan berpikir: "Apakah benar sabun bisa basi? Bukankah sabun itu bahan pembersih?"

Pertanyaan itu terus menggelitik di kepala saya. Apa yang dimaksud dengan "basi" dalam konteks air sabun? Apakah karena busanya habis? Atau karena kandungan kimianya berubah? Tentu hal kecil ini dianggap hal yang sepele dan terkadang diabaikan terutama kita yang senang mencuci piring, akan tetapi jika betul air sabun tersebut "basi", maka ini bisa menjadi hal yang serius. Mengapa? Karena memungkinkan terdapat risiko air sabun tersebut tercemar oleh mikroorganisme seperti bakteri.

Oleh karena penjelasan tersebut, rasa penasaran saya menjadi tergelitik dan mendorong saya untuk mencari tahu lebih jauh supaya saya dapat membagikannya untuk kita semua.

Mari Kita Bahas

Penjelasan mengenai sabun cuci piring

Secara umum, sabun adalah zat pembersih yang bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan air dan membantu melarutkan lemak serta kotoran. Sabun mengandung surfaktan, yaitu molekul aktif yang memiliki kepala hidrofilik (menyukai air) dan ekor hidrofobik (menolak air). Struktur ini memungkinkan sabun menangkap kotoran berminyak dan membawanya larut dalam air.

Sifat sabun yang mampu mengangkat lemak ini sangat efektif dalam membersihkan. Namun, sabun biasa, termasuk sabun cuci piring, tidak selalu mengandung bahan antibakteri aktif. Fungsinya lebih kepada menghilangkan kotoran fisik, bukan membunuh mikroorganisme secara menyeluruh.

Dalam kondisi awal, karakteristik sabun dalam botol relatif stabil. Zat kimia di dalamnya tidak mudah rusak atau terdegradasi karena pH-nya yang basa, adanya bahan pengawet dan umumnya dalam bentuk konsentrat. Tapi ketika sabun tersebut digunakan untuk mencuci piring, sabun tersebut pasti akan ditambahkan dengan air dengan tujuan agar sabun konsentrat tersebut dapat digunakan berkali-kali.

Kemudian, air sabun tersebut kita gunakan untuk mencuci dan setleah itu, air sabun tersebut sudah bercampur dengan sisa makanan, minyak, dan kotoran organik lainnya seperti lemak, gula, dan protein. Nah, inilah yang menjadi masalah utamanya, artinya saat kita sudah mencuci, pasti kita akan mencelupkan busa itu kembali ke dalam air sabun. Aktivitas ini yang menyebabkan adanya penumpukan kotoran organik tersebut

Penjelasan mengenai air sabun bekas

Air sabun bekas mencuci bukan lagi sekadar air sabun. Ia kini mengandung bahan organik yang menjadi makanan sempurna bagi mikroorganisme. Menurut penelitian Flores et al. (2017), lingkungan yang lembap dan kaya nutrisi seperti ini sangat mendukung pertumbuhan bakteri patogen, seperti Escherichia coli dan Salmonella. Dalam waktu 12 jam, koloni bakteri bisa berkembang pesat, bahkan mulai membentuk biofilm.

Biofilm adalah lapisan tipis mikroorganisme yang melekat di permukaan dan dilindungi oleh matriks yang mereka hasilkan sendiri. Biofilm ini membuat bakteri jauh lebih resisten terhadap pembersihan biasa. Gao et al. (2014) menjelaskan bahwa biofilm yang terbentuk pada permukaan alat makan atau tempat cuci dapat meningkatkan risiko kontaminasi silang ke makanan yang kita konsumsi.

Lantas, apakah menambahkan sabun baru ke dalam air sabun bekas bisa menyelesaikan masalah? Sayangnya, tidak. Menambahkan sabun baru hanya akan meningkatkan jumlah surfaktan, tetapi tidak menghilangkan kontaminasi biologis yang sudah berkembang. Bakteri yang sudah membentuk biofilm tetap bertahan, dan air tetap berpotensi menjadi sumber penyakit.

Sebagai tambahan, studi dari Rusin, Maxwell, dan Gerba (1998) menunjukkan bahwa permukaan dapur, terutama wastafel, adalah salah satu tempat dengan tingkat kontaminasi bakteri tertinggi di rumah. Bahkan lebih tinggi daripada pegangan toilet. Ini menjadi peringatan bahwa dapur, yang seharusnya menjadi tempat persiapan makanan bersih, justru bisa menjadi sumber infeksi jika tidak dirawat dengan baik.

Dalam pendekatan keamanan pangan untuk skala rumah tangga, prinsip dasar yang harus diterapkan adalah "mencegah kontaminasi silang". Ini berarti, semua media yang berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya bakteri, seperti air sabun bekas, harus segera dibuang. Selain itu, peralatan makan harus dibilas bersih dari busa sabun dan dikeringkan dengan baik.

NSF International (2013) juga menguatkan hal ini. Mereka menemukan bahwa spons, kain lap, dan wastafel adalah tempat dengan jumlah mikroorganisme tertinggi di rumah tangga biasa. Oleh karena itu, kita pasti pernah terbesit mendengar penjelasan bahwa busa cuci piring harus dibilas, kemudian melakukan penggantian air sabun, pembersihan rutin wastafel, dan pengeringan area dapur menjadi langkah penting dalam menjaga higienitas rumah tangga. Tujuannya, supaya tidak terdapat akumulasi bakteri yang membentuk lapisan biofilm pada permukaan busa, wastafel, dan dapur.

Mengapa air sabun bisa "basi"? Jawabannya kini sudah jelas. Istilah "basi" bukanlah tentang bahan kimia sabunnya, melainkan air sabun yang telah tercemar dan menjadi sarang bakteri. Proses dekomposisi bahan organik dalam air tersebut menurunkan kualitas air, mengubah pH, dan mempercepat pertumbuhan mikroba. Hal ini sejalan dengan konsep dalam mikrobiologi pangan, di mana setiap bahan organik dalam kondisi lembap berisiko menjadi media tumbuh mikroba jika tidak segera dibersihkan.

Mengandalkan sabun saja tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti waktu, suhu, dan keberadaan bahan organik tidak cukup untuk menjaga kebersihan. Inilah sebabnya dalam praktik keamanan pangan profesional, semua air bekas mencuci alat makan harus segera dibuang dan area kerja harus dikeringkan untuk mencegah pertumbuhan mikroba.

Kesimpulan

Dari semua penjelasan ini, saya akhirnya memahami mengapa membuang air sabun bekas setelah mencuci piring itu penting. Ini bukan soal malas atau hemat sabun, melainkan soal menjaga dapur tetap menjadi tempat yang aman untuk menyiapkan makanan bagi keluarga.

Sejak memahami hal ini, saya selalu memastikan bahwa setelah selesai mencuci piring, air sabun segera dibuang. Area wastafel dibilas bersih, dikeringkan, dan spons cuci piring dijemur agar tidak lembap. Kebiasaan kecil ini terasa sepele, tapi dampaknya sangat besar dalam menjaga kesehatan rumah tangga.

Karena itu, lain kali setelah mencuci piring, jangan ragu untuk membuang air sabun bekas. Anggap saja itu investasi kecil untuk mencegah penyakit besar.

Daftar Pustaka:

Flores, G. E., Bates, S. T., Knights, D., Lauber, C. L., Stombaugh, J., Knight, R., & Fierer, N. (2017). Microbial biogeography of public restroom surfaces. Applied and Environmental Microbiology, 77(11), 3785-3794. https://doi.org/10.1128/AEM.00062-11

Gao, L., Song, P., Li, X., & Ding, Y. (2014). Biofilm formation of Escherichia coli on various food-contact surfaces and its resistance to cleaning and disinfection. Food Control, 36(1), 241-246. https://doi.org/10.1016/j.foodcont.2013.08.019

NSF International. (2013). NSF Household Germ Study. Retrieved from https://www.nsf.org/newsroom/nsf-international-household-germ-study

Rusin, P., Maxwell, S., & Gerba, C. (1998). Comparative surface-to-hand and fingertip-to-mouth transfer efficiency of gram-positive bacteria, gram-negative bacteria, and phage. Journal of Applied Microbiology, 85(4), 535-544. https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.1998.00552.x

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun