Sebelum meninggal Tengku Kamaliah berpesan kepada putrinya Tengku Tahura Alautiyah, agar mencari dan menemui Ilik Sundari. Dan itu dilaksanakan oleh sang putri.
Ilik Sundai sudah menjadi isteri sorang menteri. Dia mendapat kabar, kalau putri Amir Hamzah dan isterinya datang dari Medan mau bertemu. Ketika itu sang pyutri baru berusia 12 tahun, juga ingin bertemu dengan mantan kekasih ayahnya.
Kaki tangan isteri menteri itu (Ilin Sundari) pun menyuruh Tahura duduk di lobby hotel tempat mereka mengiap di Jakarta dan diberikan berbagai hadiah. Hal ini tanpa diketahui oleh Tengku Kamaliah, karena sibuk dalam urusan dagang.
Tanpa diketahui oleh Tahura, seseorang yang duduk disebuah sudut lobi hotel sedang menatapnya. Seseorang itu adalah Ilik Sundari yang ingin melihat gurat-gurat wajah Amir Hamzah yang sangat dicintainya itu, pada diri sang putri.
Ketika Amir harus pulang ke Langkat atas panggilan sang Paman yang Sultan Langkat, Amir mengemukakannya kepada Ilik Sundari. Dengan hati sangat berat dan penuh cinta, Ilik Sundari melepas Amir pulang ke Langkat. Ilik Sundari tau betul, kalau Amir tak mampyu mengelak dari panggilan sang Paman yang Sultan.
Sebelum menikah dengan Tengku Kamaliah, Amir sempat sebulan di Jakarta untuk mengemasi barangt-barangnya. Dia tak keluar dari kamarnya. Dia menulis puisi-puisinya. Kumpulan puisi-puisinya itu diserahkannya kepada sahabatnya. Oleh sahabatnya kemudian dijadikan buku.
Selain Padamu Juga, Puisi berjudul Astana Rela, juga ditafsir sebagai puisi sufistis. Damiri juga menampiknya dengan berbagai alasan yang menarik dan masuk akal.
Demikian juga puisi yang berjudul Hanyut Aku. Dikatakan puisi yang sangat religius dan mistis. Damiri menolak tafsiran Sutan Takdir Alisjahbana dan Md. Saleh.
Menurut Damiri, terlalu riskan kalau dikatakan, sajak ini berisikan kerinduan kepada Tuhan. sebab kekasihku disitu bertidak sebagai pasif, tak memberikan sugesti sedikitpun.
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak