Mohon tunggu...
ABDUL MUHTADIN M. (amee)
ABDUL MUHTADIN M. (amee) Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aku bukanlah kamu atau mereka aku adalah takdir atas diriku..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kita Adalah Tuhan Itu Sendiri (Dalam Renungan Perjalanan)

31 Oktober 2012   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(Jakarta, 31 Oktober 2012)

Kita berjalan dan hidup dalam dimensi heterogen, kita semua dapat menemukan banyak kejadian-kejadian yang memaksa kita berfikir keras untuk mendapatkan pemahaman-pemahaman tentang arti kenapa kita hidup dan untuk apa kita hidup. Dunia ini alam yang fana, alam dimana kita bergelut dengan kompleksitas serta problematika dari A sampai Z yang terkadang menggoda, merayu dan memanjakan kita dengan pesonanya ibarat perempuan jalang penuh tipu daya dan terkadang kita lupa tentang hakekat tujuan akhir.

Dalam renungan imajinasi yang terlena dalam pelukan syahwat jiwa, mencumbui tubuh telanjang keinginan dan nafsu sambil menjilati liar penuh birahi pencapaian klimaks orgasme perjalanan, hati kita terkadang buta dan dibutakan oleh apa yang disebut surga duniawi. Kita lupa bahwa kita hanyalah serangkaian tulang belulang yang di bungkus segumpal daging, kita khilap bahwa kita hanyalah sebiji kepala hasil dari bercampurnya sperma Adam dan sel telur Hawa yang kemudian serta-merta berdiri diatas muka bumi sebagai makhluk yang penuh ego bernama manusia.

Terkadang hidup ini begitu sederhana, sesederhana pepatah Jawa ““Urip kuwi mung sadelo, paribasane mung mampir ngombe” (Hidup itu hanya sebentar, ibarat orang yang singgah untuk minum). Kemudian yang jadi masalah ketika ia mampir hanya melepas lelah saja biasanya manusia lupa dan terlena kemudian tidur dan terbuai mimpi-mimpi indah sehingga ia melupakan kelanjutan perjalanannya. Kita berada di antara “sadar” dan “ketidak-sadaran”, sadar bahwa kita memang hidup di dunia dan tidak sadar bahwa akan ada kehidupan lain yang akan kita jalani selanjutnya.

Terlepas dari pemahaman dan pro kontra idealisme tentang ada dan tidak adanya kehidupan lain setelah kehidupan yang kita sedang nikmati sekarang , tulisan ini hanya sebatas curahan seonggok otak manusia biasa yang sedang merindukan kedamaian, mencoba memahami sebuah “tanda tanya” dan sederet “teka-teki” yang sedang dijalani. Sebuah curahan konsep yang berasal dari dunia ide yang terpisah.

Hidup ini hanya terdiri dari dua warna yang berbeda yaitu warna kebaikan dan warna kejahatan yang keduanya saling bertolak belakang dalam satu kesatuan ibarat sebuah keping mata uang dengan dua muka saling membelakangi, inilah yang dinamakan “dua warna keping kehidupan” oleh saya.

Manusia tercipta dari percampuran saripati yang sempurna (sperma dan sel telur), kecuali Adam dan Hawa, Adam diciptakan dari tanah (saripati) langsung tanpa ada proses persetubuhan antara laki-laki dan perempuan sedangkan Hawa diciptakan dari bagian Adam (tulang rusuk) seperti yang dikisahkan dalam agama dan dipercaya oleh sebagian besar manusia dengan mengenyampingkan sebuah teori evolusi dari Darwin.

Kehidupan tidak terlepas dari konsep spiritual dan religious, beserta simbol-simbol yang menjadi ide analogi dalam penjabarannya seperti halnya M.D Atmaja dalam sebuah artikelnya “Pencapaian Kemerdekaan Dengan Membunuh”(1). Ia menggunakan simbolisasi warna merah dan putih sebagai pijakan analogi spiritual mengenai sebuah skema pembangun kehidupan manusia, merah diartikan sebagai darah dan putih sebagai tulang atau sperma. Perumpamaan itu merujuk terhadap kepercayaan masyarakat Jawa bahwa warna merah melambangkan rahim dan vagina pada perempuan sedangkan putih melambangkan sperma dan penis sebagai perangkat pada laki-laki. Makanya dalam kebudayaan masyarakat Jawa jika memperingati kelahiran ada semacam sajian yang dominasi warnanya merah dan putih (bubur merah dan putih) ini mengisyaratkan bahwa manusia terlahir dari percampuran antara unsur ayah dan ibu (sperma dan sel telur).

Namun terlepas dari perumpamaan-perumpamaan yang ada serta pemahaman-pemahaman yang berkembang, baik yang berlandaskan ilmu pengetahuan ataupun ide spiritualitas ada benang merah yang dapat saling berhubungan bahwa kita terlahir bukan tanpa sebab dan bukan tanpa tujuan. Pertanyaan saya adalah apa yang menjadi tujuan kita selanjutnya, dan sebagai manusia yang masih percaya tentang Tuhan, saya menjawabnya dengan kalimat “Tujuan selanjutnya adalah mencari dan menemukan Tuhan”, sedangkan kapan dan dimana kita bisa menemukannya? Untuk sementara saya menjawabnya bahwa Tuhan bisa ditemui kapanpun dan dimanapun serta ia selalu bersama kita, ia tahu apa yang tidak diketahui orang lain, ia mengetahui segala tindak laku kita, ia mengetahui persis keinginan kita, karena Tuhan sejatinya adalah nurani kita, jiwa kita. Kita adalah Tuhan itu sendiri.

Izinkan saya mengutip beberapa ayat yang saya temukan dalam Al-Quran

“Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al Ahzab:54]. (2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun