Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mendorong Keterwakilan Perempuan, Menggerus Politik Paternalistik

20 April 2019   18:03 Diperbarui: 20 April 2019   18:12 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Maria Rosalinda teku, SE - Caleg Partai Nasdem Kota Kupang Dapil Oebobo

Menjelang Pemilihan Umum tahun 2014 yang lalu, penulis pernah membangun sebuah opini berjudul "Perempuan dan Dapur Politik". Tulisan tersebut merupakan keterpanggilan penulis untuk mendorong partisipasi kaum hawa untuk terlibat aktif dalam politik praktis.

Tulisan ini didasari oleh kadaan politik Indonesia yang maskulin dan feodalistik. Kondisi ini tentu membosankan. Lantas penulis menginginkan hadirnya kaum hawa diantara dominasi politik yang maskulin ini.

Keinginan penulis kala itu semakin terbuka. Peluang perempuan untuk berpolitik semakin lebar karena didukung oleh regulasi. Memang harus ada keharusan secara regulasi yang mengatur pencalonan perempuan dalam lembaga legislatif. Tidak boleh tidak. Jika tidak demikian, keberanian perempuan tergerus.

Penulis memandang kuota 30 % caleg perempuan merupakan regulasi yang tepat dan memupuk kepercayaan diri kaum perempuan. Belum lagi perubahan perhitungan suara yang tak lagi berdasarkan nomor urut. Siapa yang bekerja, siapa yang berhak menduduk kursi milik rakyat itu. Siapa yang memperoleh suara terbanyak, dialah yang berhak duduk di dewan sana.  

Memang pada akhirnya, kuato 30 % caleg perempuan tidak sertamerta menghasilkan 30 % perempuan yang duduk dewan paska pemilihan legislatif. Angka ini sangat bergantung pada hasil pemilihan. Paling tidak ada celah bagi perempuan untuk berkompetisi meskipun peluang kemenangan itu relatif.

Sebenarnya, tak sulit bagi seorang perempuan untuk memenangkan pertarungan politik secara langsung "jika dan hanya jika" semua perempuan memiliki kesadaraan dan rasa solider terhadap kaummnya. Secara statistik pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Maka tak ada yang mustahil perempuan dapat menguasai kursi legislatif sebanyak-banyaknya. Pertanyaannya, apakah kaum perempuan berpikir demikian?

Jawabanya, tidak! Terpilih atau tidak seorang caleg perempuan sangat ditentukan oleh pola pikir atau sudut pandang pemilih. Masih banyak yang beranggapan kaum hawa hanyalah pelengkap derita. Masih banyak yang berpandangan wanita lemah fisik dan mental sehingga tak mampu menghadapi dunia politik yang keras.

Pandangan-pandangan tersebut sebenarnya sebuah perangkap yang dibangun oleh masyarakat yang berdampak pada jatuhnya rasa kepercayaan diri kaum hawa. Pandangan-pandangan itu bertolak dari nalar konservatif yang menempatkan wanita selalu di belakang layar. Entah itu sebagai ibu rumah tangga, juru masak dan sebagainya. Hanyalah kaum pria yang duduk di ruang tamu (baca: terdepan).

Masyarakat lupa. Pujian tak akan datang kepada tuan rumah atas makanan yang lezat, sambutan yang hangat, jika tak ditopang oleh kaum wanita. Seorang suami mungkin duduk di ruang tamu dengan gagah berani serta penuh kewibawaan, bagaimana mungkin tamu mendapatkan kesan yang baik bila sang istri tidak menyajikan hidangan bagi tamu yang datang ke rumahnya.

Dapur politik itu diibaratkan dengan dapur rumah tangga meskipun kenyataan dapur rumah tangga tentu berbeda dengan dapur politik. Wanita cenderung 'legowo' dengan suami dalam urusan dapur rumah tangga. Namun dalam dapur politik, baik sang suami maupun istri memiliki peluang yang sama.

Lantas, bagaimana perempuan dalam Pileg 2019? Menurut catatan Kompasiana,  sekitar 7.968 orang yang tercantum dalam daftar caleg,  3.194 orang diantaranya adalah caleg perempuan, sisanya caleg laki-laki. Ini menggambarkan perkembangan yang positif.  

Secara proporisional, angka di atas telah memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu.  Tapi, bagi penulis, pencapaian itu bukan menjadi ukurannya. Ukurannya adalah seberapa banyak kaum wanita yang pada kahirnya duduk di kursi dewan?

Regulasi tak hanya menjamin partisipasi wanita sebanyak 30 persen menjadi caleg, regulasi juga harus mendorong bagaimana kaum hawa sungguh-sungguh duduk di dewan atau benar-benar mendekati kuota tersebut.  Bagaimana caranya? Ya, perlu regulasi yang mengatur  dalam perhitungan suara. Suara caleg perempuan dan caleg laki-laki harus dipisahkan. 

Perempuan bersaing dengan perempuan, laki-laki bersaing dengan laki-laki. Itu idealnya. Sehingga kuota benar-benar mencapai sasaran jika kita menghendaki ada keterwakilan perempuan di dewan. Secara teknis perhitungan dapat dilakukan dan diatur dalam sebuah regulasi, asalkan ada itikad semua pihak untuk menuju sebuah perubahan.

Usulan ini tampak diskriminatif. Membedakan caleg  lelaki dan caleg perempuan. Dalam kacamata penulis  langkah ini lebih adil dan bijak sehingga wanita benar-benar mengisi hak atau kuota keterwakilan di dewan. Bukankah regulasi kuota 30 persen dalam Undang-Undang Pemilu sudah diskriminatif adanya? Jika persoalan kesetaraan gender tidak lagi menjadi problem, maka aturan tersebut tiadakan saja.  Jika aturan itu masih ada, maka perlu langkah besar agar kuota 30 persen  caleg perempuan  juga menjadi  kuota  anggota dewan perempuan.

Penulis percaya, seperti halnya di dapur rumah tangga, wanita selalu memainkan peran dan memikirkan hal-hal yang kecil hingga  yang besar, telaten, dan sabar, maka saya yakin hal yang sama terjadi pula di dapur politik. Ini hanya analogi sederhana. Sejatinya, secara kodrati wanita lebih kuat daripada pria. Lantas, mengapa kita tak beri keterwakilan perempuan di dewan dalam proporsi yang lebih besar? Hanya dengan cara ini kita memberikan kaum perempuan untuk berekspresi politik seluas-luasnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun