Mohon tunggu...
azzahra tsalisa safitri096
azzahra tsalisa safitri096 Mohon Tunggu... mahasiswa

hobi bermain gitar

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Review Artikel

16 September 2025   21:23 Diperbarui: 16 September 2025   21:22 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Kali ini saya akan mereview materi berjudul "Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" yang disampaikan oleh Bapak Drs. Study Rizal LK, M.A. Materi ini membahas bagaimana perjalanan panjang demokrasi di Nepal tidak berjalan dengan mulus, melainkan penuh konflik, perlawanan, bahkan pertumpahan darah.

Lewat pembahasan ini, kita diajak untuk memahami bahwa demokrasi tidak selalu hadir melalui jalan damai. Kasus Nepal justru memperlihatkan bahwa transisi politik bisa sangat rumit dan penuh risiko, sehingga memberi kita pelajaran berharga untuk menjaga dan merawat demokrasi di Indonesia agar tidak mengalami nasib serupa.

Artikel "Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" karya Bapak Drs. Study Rizal LK, M.A. menggambarkan bagaimana Nepal hari ini menghadapi krisis demokrasi. Awalnya, konflik dipicu oleh kebijakan pemerintah yang melarang sejumlah platform media sosial. Namun, larangan itu hanyalah percikan dari tumpukan kekecewaan rakyat terhadap korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan yang sudah lama mereka rasakan.

Bagi masyarakat Nepal, media sosial bukan sekadar hiburan, tetapi ruang untuk bersuara. Ketika ruang itu ditutup, negara seolah menutup telinga terhadap rakyatnya. Akibatnya, jalanan Kathmandu dipenuhi demonstran yang menuntut hak mereka. Sayangnya, jawaban pemerintah bukan dialog, melainkan represi: gas air mata, peluru karet, bahkan senjata api yang merenggut nyawa.

Review ini menunjukkan bahwa tragedi Nepal adalah kegagalan komunikasi antara negara dan rakyat. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang dialog berubah menjadi monolog kekuasaan. Setiap tindakan represif justru melemahkan legitimasi politik dan menimbulkan luka kolektif yang sulit dihapus, meskipun larangan media sosial akhirnya dicabut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun