Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Genealogi Diskriminasi, antara Misinformasi dan Misinterpretasi

10 Desember 2019   21:25 Diperbarui: 10 Desember 2019   21:39 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: South China Morning Post

Diakui atau tidak, masyarakat memahami konsep diskriminasi layaknya memahami konsep terorisme. Jika sikap militansi dari sebuah ideologi yang tidak direstui dilabeli terorisme maka sikap yang tidak mempertimbangkan kepentingan suatu pihak dilabeli diskriminasi. Namun, label diskriminasi terkadang dipahami serampangan sehingga rentan disalahartikan dan memicu pertengkaran yang tidak perlu.

Menerapkan perlakuan berbeda terhadap suatu golongan dan kelompok tertentu atau mengecewakan mereka bukanlah suatu tindakan diskriminatif. Memberikan libur untuk istirahat pada pegawai perempuan karena desakan biologis seperti haid atau hamil tentu tidak dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap pegawai laki-laki. Masalah pokok diskriminasi adalah ketidakadilan.

Ketidakadilan ini diukur dari perlakuan berbeda yang diterima seseorang hanya karena ia berasal dari golongan atau kelompok tertentu. Seperti memberi upah pegawai perempuan lebih murah atas anggapan bahwa perempuan tidak seulet dan seproduktif pegawai laki-laki. Tindakan itu menyiratkan sebuah ketidakadilan yang menempatkan posisi perempuan yang tidak setara dengan posisi laki-laki.

Sengaja merugikan seseorang tanpa memberi kesempatan untuk unjuk diri atas dasar prasangka merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang paling jelas. Hal ini tentu menyangkut persoalan moral. Setiap orang mesti diperlakukan setara tanpa memandang latar belakang atau golongannya. Itu merupakan nilai paling mendasar dari moralitas. Nilai ini pula yang menjadi ukuran bagi sebuah perlakuan bisa disebut diskriminatif atau tidak.

Ukuran lain pun bisa menjadi pertimbangan bila menyangkut persoalan tertentu. Pegawai mesti dipensiunkan pada usia lanjut, surat izin mengemudi mensyaratkan usia 18 tahun ke atas, hingga pasangan dibolehkan menikah ketika beberapa syarat mereka penuhi merupakan perlakuan yang mungkin tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu tapi tidak serta merta disebut diskriminatif.

Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang melatarbelakangi perlakuan tersebut yang dapat diterima lewat penjelasan logis. Terkadang pertimbangan itu juga menyangkut konsep moral yang dianut. Usia lanjut untuk istirahat dari rutinitas kerja, kedewasaan yang dimulai pada usia tertentu secara umum, dan institusi pernikahan yang dianggap sakral merupakan alasan yang dimaklumi oleh komunitas atau masyarakat di lingkungan tertentu.

Lalu Bagaimana Mengukur Suatu Perlakuan Diskriminatif?

Usia renta tidak mesti tidak produktif demikian pula remaja belum tentu tidak mampu bersikap dewasa. Namun umumnya yang kita temui adalah sebaliknya. Jadi hanya masalah kemungkinan. Sebab untuk menguji kedewasaan setiap remaja tidaklah mudah maka membatasi mereka dalam beberapa hal karena usia merujuk pada hasil-hasil studi yang  melibatkan sebagian mereka bisa diterima.

Salah satu aspek yang menjadi ukuran adalah relevansi. Aspek ini menghubungkan sebuah perlakuan dengan alasan yang melandasinya. Melarang anak dan remaja mengendarai motor karena alasan usia bisa diterima karena pertimbangan kematangan dianggap relevan dengan pelarangan tersebut. Lain halnya jika seseorang ditolak bekerja pada sebuah instansi karena warna kulit mereka. Sebab warna kulit tidak ada sangkut pautnya dengan kemampuan bekerja.

Selain warna kulit, agama, ras, gender, suku, asal daerah, dan beberapa hal lainnya yang bersifat personal dipahami secara umum tidak memiliki relevansi yang kuat ketika dihubungkan dengan proses sosialisasi hingga kemampuan profesional. Merugikan suatu kelompok masyarakat tanpa relevansi yang kuat merupakan perilaku diskriminatif. Namun, bagaimana kita meyakini suatu alasan itu tidak relevan?

Bagi komunitas rasis, warna kulit merupakan alasan yang sangat relevan. Demikian pula bagi kalangan konservatif dan fundamentalis, peran dan perilaku mesti dibedakan menurut, sebagai contoh, jenis kelamin. Sehingga dari sudut pandang moral, diskriminasi masih menyisakan polemik. Diskriminasi umumnya dialamatkan untuk karakteristik yang tidak dapat atau sulit diubah. Padahal, alasannya justru melampaui kondisi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun