Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Razia Buku, Vandalisme terhadap Monumen Peradaban Manusia

6 Agustus 2019   12:42 Diperbarui: 6 Agustus 2019   16:55 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: diolah dari Unsplash

Di saat usaha peningkatan kualitas literasi sedang digalakkan, kita kembali dikagetkan oleh sebuah tindakan yang sepatutnya tak lagi kita temui di saat sekarang ini: razia buku. Hanya karena buku itu menyajikan materi yang tidak sesuai dengan pemahaman -atau mungkin keinginan- kita, menyita dan menyembunyikan buku dari publik menjadi langkah taktis untuk menjaga serta melestarikan paham yang kita anut.

Sulit bagi saya pribadi membayangkan begitu lemahnya diri kita sehingga harus bersaing dengan buku. Begitu lemahnya diri kita sehingga hanya butuh sekadar kata-kata sebagai alasan untuk melampiaskan amarah. Apalagi perlakuan itu disiarkan secara sengaja entah untuk menarik simpati atau mencari pembenaran dari praduga publik yang terkadang berlebihan.

Ini patut saya sebut sebagai tragedi sehingga tidak bisa saya biarkan. Setidaknya, saya bisa mengajak kawan-kawan yang gemar merazia dan menyita buku untuk berdiskusi lewat tulisan ini. Sebab jika tidak, jangan sampai sejarah terulang kembali jika ini dianggap hal yang wajar.

Sejarah yang saya maksud adalah ketika Kaisar pertama yang menyatukan seluruh dataran China, Qin Shi Huang Di, memulai membakar buku yang dianggap tidak sesuai dengan pahamnya kemudian berakhir membakar penulis dan sarjana yang menulis buku-buku itu.

Contohnya seperti Ray Bradbury ilustrasikan dalam Fahrenheit 451, mengutip pujangga berkebangsaan Jerman Heinrich Heine bahwa mereka yang mulai membakar buku akan berakhir membakar sesamanya manusia.

Belakangan ini, buku-buku yang dianggap beraliran kiri (terutama yang membahas Marxisme dan Leninisme) menjadi target razia baik oleh aparat maupun organisasi masyarakat.

Saya tidak akan membahas argumen yang menyoalkan kebencian buta itu. Hal tersebut sudah dibahas secara komprehensif oleh banyak pihak. Di antaranya saudara Roy Murtadho di kolom IndoProgress dan saudara Roy Martin Simamora di kolom Geotimes. Keduanya saya rekomendasikan untuk dibaca sebagai pemandu sebab konteksnya lebih fokus dan argumen-argumennya lebih tajam.

Di sini, saya hanya ingin sedikit menyentil, atau paling tidak menyentuh, nurani kawan-kawan yang masih menjadikan razia dan penyitaan buku sebagai solusi positif. Saya masih berpegang teguh pada tesis bahwa setiap teks layak dibaca. Termasuk di antaranya buku. Jika pun apa yang disampaikan buku itu tidak berkenan, cukup dihiraukan saja. Boleh saja buku itu berguna setidaknya sebagai bahan kajian bagi yang lain.

Kalau dikhawatirkan buku itu menyampaikan paham yang bisa disalahgunakan maka yang patut ditanyai adalah pembacanya. Tidak serta merta buku yang dibaca akan dipraktekkan oleh pembacanya.

Sebagai contoh, jika kawan-kawan yang merazia buku kemarin itu membaca Al-Quran dengan utuh, sudah barang tentu mereka tidak akan melakukan hal demikian. Sebab perintah paling mendasar dalam Al-Quran adalah membaca dan terus belajar lewat aktivitas pembacaan. Tapi toh itu tetap terjadi.

Buku: Monumen Peradaban Manusia
Buku bukan sebatas rangkaian lembaran bertuliskan kata-kata. Buku adalah artefak dari peninggalan pengetahuan yang selama ini dihimpun dan dikembangkan umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun