Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Razia Buku, Vandalisme terhadap Monumen Peradaban Manusia

6 Agustus 2019   12:42 Diperbarui: 6 Agustus 2019   16:55 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: diolah dari Unsplash

Temuan ini bersifat dinamis, sebab dalam perjumpaan masing-masing pembaca pada teks yang sama akan berujung pada dialog kognitif yang berbeda pula. Tentunya, hasil dari dialog itu pun beragam sesuai dengan niat, maksud, maupun tujuan dari pembacaannya.

Lewat pendekatan ini pula, buku menghadirkan pengadilan yang diputuskan oleh generasi pembaca berikutnya bagi mereka yang dahulu mengelak dari tuntutan akibat dosa dan perlakuan keji mereka terhadap sesama manusia maupun lingkungan.

Atas alasan itu, tidak heran jika kita menyaksikan banyak orang menginap phobia pada buku. Sebab ia telah didahului oleh kecemasan berlebihan sebelum memulai dialognya bersama buku. Mengapa hal itu bisa terjadi? Seperti yang diutarakan sebelumnya, buku menyajikan perspektif. Perspektif adalah cerminan dari apa yang kita sedang pikirkan. 

Jangan-jangan, ketika membuka lembaran buku yang dicurigainya, seseorang dengan phobia tadi akan menemukan seluruh kebejatan yang selama ini ia coba hiraukan. Kita semua penuh dengan kehinaan dan buku selalu berupaya mengingatkan bahwa kehinaan itu adalah buah tangan kita sendiri. Bagi sebagian besar orang, hal ini terlampau berat untuk diterima.

Kejujuran merupakan sebuah nilai yang diagungkan hanya lewat khotbah belaka. Sebuah narasi luhur yang selalu ditampik dengan berbagai macam pengalih perhatian.

Buku yang menyajikan pemikirannya apa adanya, kadang ditanggapi terlalu serius terutama pada sisi di mana suatu perangai diceritakan dengan "terbuka" kepada pembacanya. Buku yang terlampau "terbuka" dengan kejujurannya ini menjadi momok bagi mereka yang masih belum siap menerima sisi lain dari dirinya. Ini membuat buku dibaca dan dipahami sebatas isi yang mendukung keinginan atau hasrat sang pembaca.

Di sisi lain, terkadang pula sebuah buku hanya dikenali lewat pembicaraan orang-orang; dikutip menurut kepentingan konteksnya namun tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri. Nah, bagaimana pula buku yang pasif lewat diamnya itu bisa membela dirinya sendiri? Lewat bantuan kita, tentunya, dengan cara membacanya secara tuntas. 

Kalau perlu mengangkatnya dalam diskusi bersama para pembaca lainnya sehingga kepingan mosaik penilaian kita terhadapnya menjadi lengkap dalam suatu gambaran utuh. Sebab buku yang tidak dibaca dengan tuntas hanya akan menuntun pada teks yang jalinan untaiannya terputus. Teks yang demikian tidak akan memberikan pemahaman selain praduga yang tidak tentu rujukannya.

Tiap lembaran buku yang kita baca pernah pula dibaca oleh orang lain sebelum atau bersamaan dengan kita. Kita tentu pernah pula merasakan bagaimana buku memainkan perasaan sehingga muncul anggapan bahwa buku tersebut ditulis secara khusus untuk kita. Ketertarikan aneh yang muncul ketika kita membaca sebuah buku dimulai dari beberapa serpihan pengalaman yang entah sengaja atau tidak seakan dikutip dari cerita kita menjalani kehidupan ini. 

Semua hal itu menyiratkan satu hal; kita semua berbagi rasa yang sama, juga pengalaman yang sama. Yang membedakan hanyalah bagaimana kita menyikapi rasa dan pengalaman itu. Sehingga aku, kamu, dan mereka yang pernah membaca punya rasa dan cita yang dipertemukan lewat tulisan. Kita ternyata tidak begitu berbeda; lewat jalan inilah buku memahamkan kita akan pentingnya sikap toleran dan hidup harmoni.

Buku Sebagai Tonggak Peradaban Manusia
Sebelum era di mana imajinasi dituntun dan disajikan sedemikian rupa untuk kita seperti sekarang ini, buku adalah portal yang menuntun kita mengonstruksi dunia imajinasi sesuai keinginan kita. Selain sebagai sarana yang menyatukan pandangan seseorang; menghubungkan seseorang dengan orang lain dengan rasa serta cita yang sama, buku juga menyajikan pelarian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun