Sebuah percakapan di Twitter melalui akun menfess @convomf memunculkan diskusi menarik seputar penggunaan kata sapaan "kamu" oleh anak kecil kepada orang dewasa. Isu ini tampaknya sederhana, namun memicu berbagai reaksi dan perdebatan dari warganet yang membawanya ke ranah tata krama, adab, hingga etika sosial. Melalui sudut pandang pragmatik, fenomena ini dapat dianalisis secara lebih dalam, dengan memperhatikan konteks ujaran, relasi sosial, dan tujuan tuturan.
Percakapan bermula dari tweet anonim di atas.
Tweet tersebut menyiratkan rasa jengkel karena sapaan "kamu" terasa tidak sopan, mengingat perbedaan usia antara pengirim (sekitar 30 tahun) dan anak kecil (kelas 5 SD). Dalam kajian pragmatik, ini berkaitan dengan fenomena deiksis persona, yaitu penggunaan kata ganti yang menunjukkan relasi sosial antara penutur dan lawan tutur. Sapaan "kamu" dalam budaya Indonesia umumnya digunakan antar teman sebaya atau ke orang yang usianya lebih muda, sehingga penggunaannya kepada orang yang lebih tua dapat dianggap melanggar norma kesopanan.
Reaksi warganet pun beragam. Salah satu komentar yang cukup tegas datang dari pengguna @hilocoklatt berbunyi "Kamu jangan kaya dosen2 di indo yg gila hormat ya nder". Komentar ini dapat dibaca sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma kesopanan, karena menyerang secara langsung dan tidak mempertimbangkan perasaan si pengirim. Komentar ini juga mengabaikan konteks perasaan jengkel yang menjadi latar belakang tweet pertama. Dalam teori Grice, ini disebut sebagai pelanggaran terhadap maksim relevansi dan cara, karena alih-alih membahas persoalan sapaan, komentar ini justru membawa asumsi personal yang tidak relevan.
Komentar lain datang dari pengguna akun @LilisRusmiati12 yang menekankan pentingnya etika berbahasa. Komentarnya berbunyi "Bukan gila hormat, tp ngajarin adab. Coba kalau kerja ke pimpinan berani gitu manggil kamu? Dosen itu yg memberikan ilmu, agar ilmu tsb jd berkah ya hrs tahu adab. Saya ke anak didik saya sll menekankan klo bicara k org yg lebih tua atau di forum resmi tidak boleh mengatakan AKU."
Dalam tanggapan ini, terlihat adanya perhatian pada norma kesantunan, terutama dalam konteks formal dan akademik. Sapaan seperti "aku" atau "kamu" dinilai tidak pantas digunakan kepada dosen atau atasan, dan hal ini bersifat edukatif. Namun, komentar ini sedikit melenceng dari konteks awal, karena membandingkan situasi informal di lingkungan keluarga dengan suasana resmi di institusi pendidikan.
Komentar yang cukup mendalam dan mencoba melihat konteks secara menyeluruh datang dari pengguna akun @yandi_kari. Dalam cuitannya tertulis "Ya konteksnya gini kak. Si sender jengkel tapi ga negur bocil sebagai pelaku. Kalo punya adab, sender negur baik-baik ke bocil itu. Ini udah kepala 3, ga bisa bedain bocah 5 SD yang perlu bimbingan sama bocah ABG 1 SMA, jengkel tp ga negur. Gila hormat pantas disematkan. Tp kl dipikir2 lagi. Sender dipanggil 'kak', artinya looks sender keliatan lebih muda dari orang2 yg dh kepala 3 pada umumnya. Plus bocil itu nganggep sender udh deket sama dia, karena sepertinya bocil ini suka main sama sepupu sender. Tapi apakah bocil itu tau sender udah mau usia kepala 3? Belum tentu juga si. Kecuali dia nanya wkwkwk. Kalau konteks mbak Lilis ini, ya udah beda topik sama sender. Yaiyalah ke Dosen, disapanya pak/ibu, kecuali kalo dosennya mengizinkan dipanggil mas/mbak/kak. Tergantung Penutur dan Kawan Tutur-nya. Coba deh mbak Lilis belajar Pragmatik di ilmu Linguistik. Eh maksud saya, Ibu Lilis. Mohon maaf apabila saya salah kata sapaan. Kalau bocil itu anak didik Ibu Lilis, sangat bijak ditegur dulu seperti ke mahasiswa Ibu Lilis. Namun, konteksnya sudah beda lagi ibu. Mahasiswa itu di atas 17 tahun, sementara bocil usianya saja rentang 9--11 tahun. Jadi ada pendekatan mendidik yang berbeda."
Komentar ini mencerminkan pemahaman pragmatik yang baik. Penulis komentar membedakan konteks antara komunikasi anak-anak dengan orang dewasa. Ia mengakui bahwa anak SD belum tentu memahami konsep kesopanan secara utuh karena belum memiliki kompetensi pragmatik yang matang. Dalam teori pragmatik, usia dan kedekatan relasi sosial memengaruhi bentuk dan maksud tuturan. Kata "kak" yang digunakan anak kepada si pengirim justru menunjukkan adanya hormat atau keakraban.
Selain itu, komentar ini juga menyinggung pentingnya konteks tutur dan relasi antara penutur dan kawan tutur, konsep yang sangat sentral dalam kajian pragmatik. Dengan menyadari bahwa anak-anak belum memiliki pemahaman penuh terhadap sopan santun dalam masyarakat dewasa, kita justru dituntut untuk membimbing, bukan langsung menilai atau merasa tersinggung.
Secara keseluruhan, interaksi ini menunjukkan bahwa komunikasi tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, usia, dan tujuan tuturan. Pragmatik mengajarkan bahwa sebuah kata atau sapaan seperti "kamu" bisa menimbulkan makna berbeda tergantung pada siapa yang mengatakan, kepada siapa, dalam situasi apa, dan dengan tujuan apa.