Mohon tunggu...
Moh. Ulul Azmi
Moh. Ulul Azmi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa yang suka minum kopi, sesekali aja nulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gender Inequality: Ketimpangan Upah dalam Ketenagakerjaan di Indonesia

28 Januari 2022   20:42 Diperbarui: 29 Januari 2022   22:42 2045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesetaraan gender bukan merupakan isu baru di Indonesia. Secara global, kerangka normatif pembangunan manusia dengan kesetaraan gender sudah tercermin dalam Sustainable Development Goals. Konsep gender lahir dari proses sosiologi dan budaya yang membagi peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan di sebuah lingkungan. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat masih menganggap peran sosial perempuan masih tertinggal dan bersifat pasif dibandingkan laki-laki, hal tersebut tidak terjadi secara alamiah melainkan akibat adanya kontruksi budaya di tengah masyarakat (Qori, 2017). Akibat adanya budaya dan norma masyarakat tersebut, yaitu cenderung menenmpatkan perempuan di posisi yang dianggap lebih rendah, perempuan cenderung banyak ditempatkan di sektor domestik dibandingakan sektor publik, padahal setiap perempuan Indonesia memiliki hak untuk memilih penempatan posisi dalam pekerjaan (KPPA, 2018).

Gambar 1: World Economic Forum (2021): Economic Participation and Opportunity
Gambar 1: World Economic Forum (2021): Economic Participation and Opportunity

Ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan masih marak terjadi di Indonesia. Mehrotra & Sinha (2017) mengungkapkan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek seperti dalam penggunaan waktu di rumah, perbedaan tingkat Pendidikan dan keterampilan, pembatasan sosial dan budaya, diskriminasi sectoral dan pekerjaan, migrasi laki-laki, dan berbagai akses ke input produktif, keseluruhan faktor tersebut mengarah pada gender inequality dalam partisipasi kerja yang layak. Menurut laporam World Economic Forum (2021) tentang Economic Participation and Opportunity, Indonesia menempati urutan 99 dari 156 negara dengan index 0,647. Dalam lingkup Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh dengan Filipina yang ada di peringkat 18 dengan index 0,795.

Gambar 2: Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2021 (diolah oleh penulis)
Gambar 2: Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2021 (diolah oleh penulis)

Kita juga bisa melihat ketimpangan tersebut melalui Survey Angkatan Kerja Nasional, dari 138,81 juta Angkatan kerja, partisipasi laki-laki dan perempuan berbanding 82,1% : 54,3%, sementara Unemployment to Population rate berbanding 76,5 : 51,11. Dua hal tersebut adalah bukti sahih, bahwa ketimpangan gender di Indonesia dalam bidang ketenagakerjaan masih tinggi, hal tersebut berimplikasi pada rendahnya akses perempuan ke pasar tenaga kerja, serta akhirnya akan terjadi kecenderungan rendahnya upah perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki (Ari, 2017).  

The Oaxaca Decomposition


Gambar 3: The Oaxaca Decomposition, Source: Labor Economics (Borjas)
Gambar 3: The Oaxaca Decomposition, Source: Labor Economics (Borjas)

Jika semua pekerja dan jenis pekerjaan bersifat homogenn serta pasar tenaga kerja merupakan pasar persaingan sempurna, equilibrium akan tercapai jika pekerja memperoleh upah satu sama lain (Mcconnell et al., 2015). Menurut theory of wage differentials, perbedaan upah terjadi karena tiga faktor, pertama jenis pekerjaan yang heterogen, kedua tipe pekerja yang heterogen, dan yang terakhir pasar tenaga kerja yang masih belum maksimal. Borjas (2016) dalam bukunya Labor Economics, menguraikan ketidaksetaraan upah menjadi dua keadaan yaitu: ketidaksetaraan upah yang muncul karena dua kelompok pembanding rata-rata atau kualifikasi yang berbeda, seperti lama waktu sekolah dan pengalaman bekerja, dan ketidaksetaraan upah yang muncul karena salah satu kelompok diperlakukan lebih baik karena karakteristik individu yang sama.

Pada dasarnya, The Oaxaca Decomposition menjelaskan bahwa persamaan upah tidak bisa mencakup semua variable yang mengukur keterampilan dan produktivitas individu, dalam kata lain meskipun secara karakteristik keterampilan dan produktivitas kemungkinan sama, namun dalam persamaan upah mereka tidak setara. Melihat pada kurva diatas, rata-rata wanita yang memiliki sF tahun sekolah akan menghasilkan wF dollar, kemudian laki-laki yang memiliki sM  tahun sekolah akan memperoleh wM  dollar.

Diskriminasi upah muncul karena laki-laki memiliki lebih banyak waktu untuk sekolah daripada perempuan. Jika rata-rata wanita dibayar seolah-olah dia laki-laki, dia akan mendapatkan wF* dolar. Jumlah diskriminasi diperoleh melalui (wF* - wF). Singkatnya dapat dijelaskan sebagai berikut: laki-laki dan perempuan mungkin memiliki tahun sekolah yang sama, namun hal tersebut tidak menjamin bahwa perempuan akan sama produktifnya dengan laki-laki, karena mungkin dipengaruhi oleh laki-laki lebih termotivasi untuk bekerja, sehingga efek koefisien bukan karena diskriminasi tetapi karena perbedaan produktivitas yang tidak teramati antara laki-laki dan perempuan.

Lebih lanjut, Oaxaca Decomposition menjelaskan, selama kita masih percaya ada suatu diskriminasi yang lazim, yangmana diskriminasi tersebut dapat mempengaruhi proses pra-pasar antara laki-laki dan perempuan, selama itu pula ketimpangan upah masih akan terjadi.

Kembali ke gambar 1 misalnya, dalam gambar dijelaskan bahwa mungkin saja ada kemungkinan seorang perempuan tidak melanjutkan pendidikan karena hambatan diskriminatif yang ada di pasar tenaga kerja. Dalam artian teori ini berpendapat bahwa pemberi kerja tidak bertanggung jawab atas adanya perbedaan tingkat Pendidikan antara laki-laki dan perempuan, melainkan masyarakatlah yang haarus bertanggung jawab, karena diskriminasi terkecil yang ada di masyarakat sangat berpengaruh pada diskriminasi-diskriminasi yang akan dialami perempuan selanjutnya.

Gender Equality dan Persamaan Upah dalam Ketenagakerjaan

Jika menilik pada sejarah, para pendiri bangsa sebenarnya sudah mengamanatkan persamaan gender, yaitu melalui Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia, yaitu pada sila ke-5, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Lebih lanjutnya, UUD 1945 pada Pasal 27, mengamanatkan kesamaan kedudukan setiap warga negara dan menentang adanya diskriminasi.

Kemudian ada beberapa upaya untuk memperjuangkan gender equality oleh Indonesia, yaitu: Pertama, pada tahun 1979, dilaksanakan siding umum PBB yang mencetuskan pentingnya pengakuan terhadao hak-hak perempuan dengan mengadopsi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEADAW), Indoensia meratifikasi CEADAW melalui UU No. 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita. Kedua, Indonesia ikut serta dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995 yang dihadiri 189 negara, yang kemudian diimplemntasikan dengan Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Keharusan Melaksanakan Percepatan Pengarusatamaan Gender (PUG) di Perencanaan/Penganggaran di Semua Sektor Pembangunan.

Ketiga, Indonesia berkomitmen untuk menjalankan Sustainable Development Goals, yaitu visi pembangunan global yang disepakati oleh para pemimpin dunia untuk tahun 2030, SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target, salah satu agendanya adalah kesetaraan gender. Keempat, dalam Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, mengamanatkan bahwa peningkatan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak merupakan salah satu jalan mencapai Indonesia yang adil dan demokratis.

Secara spesifik, pemerintah telah mengamanatkan persamaan upah untuk laki-laki dan perempuan dalam konstitusi, yaitu: Pertama, UU No. 80 Tahun 1957, yang merupakan pendukung atas ratifikasi Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951, tentang engupahan Sama bagi Buruh Laki-laki dan Perempauan untuk Pekerjaan yang Sama. Kedua, UU No. 21 Tahun 1999, yang merupakan pendukung ratifikasi Konvensi ILO No. 111 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Pekerjaan. Ketiga, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1988 tentang Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Wanita. Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1989 tentang Larangan PHK bagi Pekerja Perempuan yang Menikah, Hamil, dan Melahirkan, Kelima, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1989 tentang Pedoman Mempekerjakan Pekerja Perempuan Malam Hari.

Keenam, Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. 02 Tahun 1991 tentang Memberikan Keleluasaan bagi Pekerja Perempuan yang Menyusui Anak. Ketujuh, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1996 tentang Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Perempuan dalam Peraturan Perusahaan, Ketujuh, Surat Keputusan bersama antara Ditjen Binawas dan Ditjen Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan No. 22 Tahun 1996 dan No. 202 Tahun 1996 tentang Kekurangan Gizi pada Pekerja Perempuan.

Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup, yaitu melalui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Namun pada 2020 lalu, disahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 (Omnibus Law), menambah dan/menghapus substansi UU. No. 13 Tahun 2003. Penambahan yang berpotensi mengamini kesenjangan upah, yaitu adanya upah hasil dan upah waktu yang terdapat pada pasal 88B. Menurut Disnakertrans NTB, upah hasil merupakan upah yang penerapannya berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan, sedangkan upah hasil merupakan upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati, dalam UUK hal tersebut dicantumkan.

Kesenjangan Upah di Indonesia


Gambar 4: Upah rata-rata menurut jenis kelamin (Rupiah/Jam), Source: BPS, diolah oleh penulis
Gambar 4: Upah rata-rata menurut jenis kelamin (Rupiah/Jam), Source: BPS, diolah oleh penulis

Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan masih terjadi di Indonesia. Meskipun upah laki-laki dan perempuan cenderung meningkat, namun ada kecenderungan upah yang diterima laki-laki lebih besar dari perempuan, seperti yang terlihat pada gambar 4.  

Kemajuan tersebut merupakan hasil dari dorongan regulasi yang berkewajiban untuk menerapkan upah minimum. Tetapi meskipun begitu, kesenjangan gender masih terjadi dalam penerimaan upah.

Dapat dilihat juga pada gambar 3, pekerja perempuan cenderung menerima upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, mesekipun memiliki tingkat Pendidikan yang sama, ketimpangan tersebut terjadi di seluruh jenjang pendidian BPS (2021) mencatat jika pekerja laki-laki memiliki rata-rata upah Rp. 3,1 juta per bulan sedangkan perempuan Rp. 2,86 juta per bulan. Gap angka yang tinggi di setiap level Pendidikan pada gambar 4 menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih jauh dari kata setara. Data lain juga menunjukkan, bahwa Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal, hal tersebut menyebabkan perempuan tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai, sehingga mengakibatkan pekerja perempuan lebuh rentan terhadap terjadinya pelanggaran hukum berupa diskriminasi, kekerasa fisik, eksploitasi, hingga perdangangan manusia, dari segi upah perempuan juga menerima 30% lebih rendah dibandingkan laki-laki (Syaifuddin, 2018). 

Hal tersebut disebabkan karena Sebagian besar pekerja perempuan hanya mengisi sektor informal, yang natabene tidak ada perlindungan sosial yang pasti di sektor tersebut. Ada beberapa faktor yang menghambat perempuan untuk beralih ke sektor formal, pertama yaitu peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga yang cenderung merugikan perempuan, yang kedua adalah budaya patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia, sehingga posisi perempuan dianggap rendah.


Gambar 5: Rata-rata upah buruh menurut pendidikan dan jenis kelamin (Februari 2021), Source: katadata.co.id
Gambar 5: Rata-rata upah buruh menurut pendidikan dan jenis kelamin (Februari 2021), Source: katadata.co.id

Fakta lain yang sering ditemui adalah, biasanya, lapangan pekerjaan yang statusnya lebih banyak terbuka pada perempuan pada umumnya memberikan standar upah yang relatif rendah. Hal tersebut berkebalikan dengan pekerja laki-laki yang lebih terbuka ke jabatan professional dan formal lainnya. Perempuan yang masuk ke pasar kerja pada umumnya jenjang kariernya tidak akan secepat laki-laki, baik formal maupun informal, pleh karena itu penerapan kesetaraan gender sangat penting perannya dalam dunia kerja (Ainun, 2018). Dengan menghilangkan hambatan perempuan untuk bekerja di sektor tertentu terutama formal, akan berdampak pada berkurangnya kesejangan produktivitas antara pekerja laki-laki dan perempuan (World Bank, 2012)

Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa Sebagian besar perempuan bekerja di sektor perdagangan, restoran dan hotel, pertanian, dan jasa kemasyarakatan, dengan rincian pertambangan sebanyak 115.063 (8,91%  atau 1,28 juta orang pekerja laki laki). Pada sektor listrik, air, dan gas sebanyak 46.449 orang (13%  dari pekerja laki-laki 347,42 ribu orang), sedangkan pada sektor jasa keuangan sebesar 1.091.838 orang ( 41% dari 2,66 juta orang dari pekerja laki laki).

Pada sektor tersebut pekerja perempuan memperoleh upah yang rendah. Ini cukup ironis, mengingat bahwa menurut catatan BPS (2017), ada tiga sektor yang memberikan standar rata-rata upah/gaji tertinggi yaitu pertambangan sebesar 4,4 juta/bulan, sektor listrik, gas & air sebesar Rp. 3,92 juta/bulan serta sektor jasa keuangan sebesar Rp. 3,87 juta/bulan. Hal ini menunjukkan perempuan menjadi korban dalam struktur ekonomi yang menyebabkan kebanyakan dari mereka harus bekerja di sektor informal dengan upah renda, ketidakjelasan regulasi kerja, upah yang kurang, dan jaminan sosial yang tidak jelas (Sofiani, 2017).

Keterbatasan perempuan untuk memperoleh kemungkinan pekerjaan skala besar terkait dengan keterbatasan modal yang dimiliki oleh pekerja. Peran serta masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah sangat penting dalam rangka pengembangan pribadi pekerja perempuan. sehingga  keadilan dan kesetaraan gender dapat tercapai di bidang ketenagakerjaan (Effendi & Devi, 2018).

Penyebab Kesenjangan Upah

          Ada beberapa penyebab kesenjangan upah, berikut diantaranya.

1. Budaya Patriarki yang Masih Kental

            Sylvia Walby (1990) mendefinisikan patriarki sebagai suatu sistem, dimana struktur sosial dekendalikan atau didominasi oleh laki-laki. Dalam bukunya Theorising Patriarchy (1990), Sylvia Walby mengidentifikasi setidaknya ada enam sumber sumber kontrol patriarki, ada tiga hal yang setidaknya masih: Pertama, pada sektor pekerjaan yang dibayar, biasanya perempuan mengalami eksploitasi di tempat kerja dan kesenjangan upah (gambar ), glass ceiling atau cenderung tidak dipromosikan. Kedua, budaya, yaitu kecenderungan menempatkan perempuan dalam tempat yang berbeda, seperti masih adanya norma sosial yang menganggap kepala rumah tangga harus diisi oleh laki-laki (table, lampiran).

Ketiga, kekerasan terhadap perempuan (meskipun memiliki tren turun tapi angka kekerasan masih tinggi), salah satu ciri masyarakat patriarki adalah ancaman kekerasan laki-laki terhadap perempuan, salah satu cara perempuan dikendalikan oleh laki-laki (tabel, lampiran), dan Keempat, negara masih patriarki, rasis, dan kapitalis, yang ditunjukkan dengan masih sedikitnya upaya untuk meningkatkan posisi perempuan di ranah publik (tabel, partisipasi perempuan di pemerintahan masih rendah dan masih jarangnya penegakan peraturan tentang kesetaraan (tabel, kekerasan terhadap perempuan masih belum sepenuhnya ditegakkan).

2. Pemerintah yang Masih Setengah Hati dalam Memperjuangkan Kesetaraan Upah

Pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah sebagian substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan juga mengatur beberapa hal baru, adalah suatu kemunduran dalam upaya penyetaraan gender di Indonesia. Terdapat beberapa substansi yang berpotensi menghambat upaya penyetaraan gender di Indonesia, padahal Indonesia berkomitmen untuk mencapai kesetaraan gender.poin penambahan dalam Omnibus Law yang berpotensi melanggengkan kesenjangan upah adalah pada pasal 88B, yaitu terdapat upah hasil dan upah waktu, upah hasil merupakan upah yang penerapannya berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan, sedangkan upah hasil merupakan upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati, dalam UUK hal tersebut dicantumkan.

 Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Pada pasal 88B Omnibus Law, pasal tersebut masih ambigu, berikut bunyi lengkapnya: (1) Upah ditetapkan berdasarkan: a satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada pasal 88B diatur sistem pengupahan yang merugikan perempuan. Perempuan memiliki kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki, hal tersebut tidak bisa dibantahkan, namun pasal tersebut akan merugikan perempuan. Jika perempuan cuti karena melahirkan, haid, atau kondisi biologis perempuan lainnya, jika mengacu pada peraturan tersebut, pada dasarnya, pasal 88B ayat 1 poin (b) akan bertentangan dengan poin (a), sehingga perempuan tidak akan mendapatkan kesetaraan upah dengan laki-laki karena kondisi biologis yang berbeda.

Kesimpulan

             Kesenjangan upah masih terjadi di Indonesia. Penyebab dari kesenjangan upah cukup kompleks, yaitu lingkungan sosial budaya yang masih melanggengkan patriarki, hingga peraturan pemerintah yang masih belum mempertimbangan aspek biologis perempua sehingga peraturan tersebut masih diskriminatif terhadap perempuan. Namun pada akhirnya, kita menyadari kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan merupakan permasalahan yang kompleks, dan tidak akan cukup jika dijelaskan pada tulisan ini. Namun, dalam beberapa kasus justru pemerintah menghambat adanya kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan.

Mencapai kesetaraan upah bukan semata-mata untuk tujuan kosong semata, kesetaraan upah adalah fundamental untuk mewujudkan Indonesia sesuai apa yang telah diamanatkan di Konstitusi Indonesia. Tercapainya kesetaraan upah adalah hal yang pantas untuk dirayakan, oleh karena itu, diperlukan edukasi mulai dari tingkat yang terkecil, dan juga pembentukan kebijakan yang melibatkan perempuan, sehingga aspek-aspek kebutuhan  perempuan dapat terpenuhi, dan kesetaraan upah dapat tercapai.

Kesenjangan upah lahir dari gender inequality, yang akhirnya merambah ke ranah ketenagakerjaan. Kesenjangan upah adalah salah satu dari banyak permasalahan tentang gender inequality. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus menempatkan persamaan gender sebagai salah satu isu utama, karena dari pembuatan kebijakan pemerintah belum memaksimalkan pemecahan masalah kesenjangan upah.

Indonesia berkomitmen mencapai kesetaraan gender melakui SDGs, namun justru di Visi Indonesia 2045 hal tersebut bukan merupakan salah satu fokus utama. Lalu salah satu persoalan gender inequality dalam ketenagakerjaan yaitu kesenjangan upah, aturan fundamental yang mengatur ketenagakerjaan telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, untuk kemudian mengalami revisi yang termaktub dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. Namun dalam kurun waktu 17 tahun, tidak ada perubahan yang memiliki dampak signifikan terhadap kesetaraan upah, justru ada pasal yang berpotensi melanggengkan kesenjangan upah. Hal tersebut adalah bukti yang menunjukkan keenjangan upah belum ditanggapi secara maksimal oleh pemerintah.

Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan pemerintah agar kesetaraan upah dapat tercapai adalah: Pertama, menjadikan gender equality sebagai isu utama Indonesia 2045. Kedua, melakukan peninjauan ulang terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ketenagakerjaan dengan mengedepankan gender equality. Ketiga, melakukan edukasi mulai dari tingkat terkecil agar budaya patriarki dapat hilang. Keempat, memperkuat sistem pengawasan yang optimal agar pelaku yang melakukan diskriminasi upah mendapatkan sanksi. Kelima, mempertimbangkan aspek biologis perempuan dalam proses perumusan peraturan ketegakerjaan, terutama tentang sistem pengupahan.

*artikel ini pernah dipublikasikan untuk prasyarat tugas kuliah

Daftar Pustaka

Borjas, George J.. (2016). Labor Economics (Ed. 7th). New York: McGraw Hill.

BPS. (2017). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2017. Badan Pusat Statistik.

BPS. (2021). Survey Angkatan Kerja Nasional Februari 2021. Badan Pusat Statistik.

Katadata.id

Bps.go.id. 

Undang-Undang | JDIH Kementerian BUMN, https://jdih.bumn.go.id/uu

ILO. (2012). Labour and Social Trends in Indonesia 2011 Labour and Social Trends in Indonesia 2011. International Labour Organization. Jakarta.

Syaifuddin, Z. (2018). Membincang Peran Ganda Perempuan Dalam Masyarakat Industri.     Jurnal Jurisprudence, 8(2), 81--86.

Qori, K. (2017). Peran Ganda Perempuan pada Keluarga Masyarakat Petani: Kasus Istri Petani di kecamatan Merapi Selatan Kabupaten Lahat. Jurnal Kajian Gender Dan Anak, 12(2), 151-- 162.

KPPPA. (2018). Pembangunan Manusia berbasis Gender 2018. Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.

Effendi, P., & Devi, R. (2018). Kesetaraan Gender Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal Pro Hukum, 7(2), 1--8

Sofiani, T. (2017). Perlindungan Hukum Pekerja Perempuan Sektor Informal. Muwazah, 9(2), 9.

Ainun, M. (2018). Penerapan Kesetaraan Gender Dalam Pengembangan Karir Karyawan (Studi Perbandingan Antara Bank Syariah dan Konvensional di Pekanbaru). Marwah: Jurnal
Perempuan, Agama Dan Jender, 17(1), 80--95

"Global Gender Gap Report 2020." World Economic Forum, 2021.
World Bank. (2012). Gender Equality and Development. World Bank.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun