Mohon tunggu...
Ardana Azka
Ardana Azka Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ketergantungan Chip Impor: Risiko Tersembunyi di Balik Ambisi Digital Indonesia

15 September 2025   14:55 Diperbarui: 15 September 2025   14:55 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pixabay.com/

Ambisi transformasi digital Indonesia sedang bergerak maju, dengan fokus pada fintech, pusat data, AI, dan kendaraan listrik. Ketergantungan pada chip semikonduktor impor adalah masalah struktural yang sering diabaikan oleh masyarakat umum.  Masalah ini dapat menghambat laju digitalisasi dan menimbulkan risiko ekonomi yang nyata jika tidak ditangani.

Indonesia diperkirakan membutuhkan jutaan tenaga digital untuk menggarap peluang tersebut, pemerintah memproyeksikan kebutuhan sekitar 9 juta talenta digital hingga 2030 untuk menopang ekonomi digital.  Di sisi lain, kapasitas manufaktur chip global sangat terkonsentrasi, sehingga gangguan geopolitik atau kebijakan ekspor bisa memicu kelangkaan komponen penting.

Peringatan itu datang dari barisan pembuat kebijakan. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan relasi erat antara AI dan semikonduktor: "tidak ada AI tanpa semikonduktor dan tidak ada semikonduktor... dan ini bergerak beriringan." Pernyataan ini menegaskan bahwa strategi perangkat keras harus berjalan paralel dengan pengembangan software dan AI nasional.  Politik dan strategi juga ikut bicara: Luhut B. Pandjaitan bahkan menyebut bahwa persaingan global sudah berubah menjadi "perang chip", menggarisbawahi dimensi strategis teknologi tinggi yang tak boleh diabaikan.

Dampak praktisnya bersifat multi-sektoral. Menurut studi Ember, kebutuhan listrik pusat data Indonesia akan meningkat dari sekitar 6,7 TWh (2024) menjadi 26 TWh pada 2030. Ini akan meningkatkan tekanan pada pasokan listrik dan biaya operasi.  Bagi investor, itu berarti terpapar dua risiko sekaligus: risiko rantai pasokan (ketersediaan chip) dan risiko biaya energi (operasi data center).

Meskipun solusinya tidak sederhana, jalan menuju solusi jelas: penekanan pada desain dan assembling IC lokal, program pengembangan SDM terstruktur untuk insinyur fabrikasi dan desainer chip, dan program yang mendorong investasi strategis dan kemitraan internasional.  Sekarang pemerintah telah menetapkan semikonduktor dan AI sebagai prioritas kebijakan, sekarang tugasnya adalah menerapkan rencana ke dalam investasi, fasilitas, dan pipeline talenta yang nyata.

Bagi masyarakat umum dan siswa, peluang karir di bidang desain chip, verifikasi, dan firmware kini semakin premium.  Untuk investor, lihat emiten yang mengamankan rantai pasokan melalui kontrak jangka panjang, kemitraan desain, atau layanan yang menambah nilai.  Untuk pembuat kebijakan, Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah kebijakan untuk menjadi pasar besar dan pemain strategis dalam rantai nilai teknologi global.

Ambisi digital Indonesia masuk akal, tetapi tanpa semikonduktor independen dan bakat yang kuat, negara berisiko menjadi konsumen pasif teknologi global.  Untuk mengubah risiko tersembunyi menjadi peluang strategis, investasi, pendidikan, dan kebijakan industri yang konsisten sangat penting.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun