Mohon tunggu...
A. Aziz  Perwiratama
A. Aziz Perwiratama Mohon Tunggu... Freelancer - Ronin

Nama saya adalah Abdul Aziz Perwiratama. Saya dilahirkan pada 20 Mei 1994 di sebuah kampung yang berada di perbukitan Menoreh, Yogyakarta. Saya merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Dari masa kecil hinggan sekarang, saya menetap dan tinggal di tempat lahir saya.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pecinta Alam yang Tidak Mencintai Alam

12 Juni 2020   08:39 Diperbarui: 16 Juni 2020   08:32 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun belakangan ini, penggemar kegiatan outdour seperti mendaki gunung menunjukan peningkatan yang signifikan. Mungkin ini disebabkan oleh banykanya foto dan vidio yang menampilkan keindahan alam pada ketinggian.

Biasanya, kalangan yang menyukai kegiatan outdour mendaki gunung tergabung dalam kelompok pecinta alam, dan untuk individunya sering dianugrahi dengan gelar pendaki gunung. Namun, menurut saya orang yang sudah menjajakkan kakinya di gunung sudah bisa disebut dengan pecinta alam. Karena, kalau enggak cinta untuk apa pergi ke gunung hehehe.

Dengan ramainya pendaki yang menjajakkan kaki di ketinggian gunung, bertambah pula sampah yang tercecer di lingkungan gunung. Bahkan pada tahun 2017 lalu, seorang pendaki asal Perancis yang bernama Remi Colbachini berhasil mendaki 21 gunung berapi di Indonesia dengan trik mengikuti jejak sampah. Remi mengikuti jejak sampah yang berceceran di jalur pendakian. Kalau sampai dia mendaki di jalur yang bersih dari sampah, sudah pasti dia salah jalur. Saya sendiri pun pernah terselamatkan oleh trik ini, waktu itu saya tertinggal jauh dari rombongan dan hampir saja tersesat.

Sudah menjadi pengetahuan umum, jika gunung-gunung di Indonesia saat ini mengalami darurat sampah. Bahkan, orang yang tidak mendaki gunung pun juga bisa mengetahuinya. Jejak sampah di jalur pendakian sudah menjadi salah satu bukti, bahwa masih ada saja pendaki gunung yang tidak sadar akan bahaya sampah bagi kelestarian alam.

Selain lelah, dalam perjalanan mendaki gunung juga menghabiskan banyak energi. Untuk mengisi ulang energi yang dibutuhkan oleh tubuh dan menyamarkan rasa lelah inilah para pendaki sering mengatasinya dengan makan makanan ringan. Oleh sebab itu, umumnya sampah yang berceceran di jalur pendakian adalah sampah-sampah kecil seperti bekas rokok dan pembungkus makanan ringan.

Tidak hanya sampah di jalur pendakian, di area camp dan sekitarnya pun juga banyak sampah yang berceceran. Biasanya, di bekas lokasi para pendaki mendirikan tenda, banyak tercecer sampah plastik yang digunakan pendaki untuk membawa bekal air dan makanan.

Dan bukan hanya sampah plastik saja, karena sisa makanan dari pendaki yang tidak habis dan dibuang begitu saja bisa disebut sebagai sampah organik. Nah, sampah organik inilah yang menyebabkan perubahan perilaku pada hewan-hewan yang hidup dan tinggal di gunung. Biasanya, mereka bertahan hidup dengan makanan yang sudah disediakan alam, namun sekarang mereka lebih condong memilih mengais makanan sisa dari para pendaki daripada mencari buah dan ubu-ubian. Perubahan perilaku seperti inilah yang sangat mengkawatirkan, karena tidak jarang pula plastik bekas tempat makanan juga ikut mereka telan.

Dari area camp, jika mlipir ke semak-semak banyak bisa kita jumpai sampah yang tidak terduga. Dari tisu basah, tisu kering yang menjadi basah, dan bahkan kadang kalau kita beruntung bisa bertemu juga dengan celana dalam yang ditinggalkan oleh pendaki hehehe. Sampai saat ini, saya pun masih belum menemukan maksud dari celana dalam yang ditinggalkan di gunung.

Beda lagi jika kita berada di puncak atau paling tidak sepot foto yang menyuguhkan landscape memanjakan mata. Di situlah kadang bisa kita jumpai kertas-kertas bertuliskan salam-salam sayang dari ketinggian.

Kita semua tahu, bahwa alam tidak bisa menguraikan sampah-sampah yang dibawa oleh pendaki meskipun sampah-sampah itu bertahun-tahun berada di sana. Bahkan, untuk sampah organik seperti bekas makanan pun setidaknya membutuhkan waktu dua bulan agar bisa terurai, kalau tidak dipulung penduduk sekitar. Meskipun sampah kertas dan juga tisu kering bisa terurai, itupun tetap membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan sampah dari bekas makanan.

Tidak hanya sampah yang menjadi efek negatif dari ramainya pendaki gunung. Karena, ada juga pendaki gunung yang mendirikan tenda tidak di area camp yang sudah ada, sabana gunung yang bisanya terlihat hijau saat musim penghujan, dan kuning jika musim kemarau, sekarang berubah menjadi gersang hanya tinggal tanah saja tanpa rumput yang menutupinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun