Di tengah keramaian malam Kota Yogyakarta yang hangat dan bersahabat, deretan gerobak sederhana berlampu temaram menjadi tempat berlabuhnya banyak orang dari berbagai kalangan. Gerobak ini dikenal dengan nama angkringan, sebuah ikon kuliner dan budaya yang tak bisa dilepaskan dari denyut kehidupan masyarakat Jogja. Di balik bentuknya yang sederhana, angkringan menyimpan nilai-nilai sosial, sejarah, dan filosofi yang dalam, menjadikannya lebih dari sekadar tempat makan murah di pinggir jalan.
 Asal kata "angkringan" berasal dari kata Jawa "angkring" yang berarti duduk santai atau bersandar. Nama ini kemudian melekat pada gerobak dorong yang menyediakan aneka makanan dan minuman sederhana. Angkringan pertama kali populer di wilayah Solo dan kemudian menyebar ke Yogyakarta sekitar tahun 1950-an.
Di sudut-sudut kota Yogyakarta, angkringan hadir bukan hanya sebagai tempat makan, tetapi juga ruang temu, berbagi cerita, dan menemukan kehangatan di tengah malam. Di balik sederhana tampilan gerobaknya, angkringan menyimpan filosofi khas Jogja: murah, merakyat, dan menyatukan.
Suatu malam, kami berbincang dengan salah satu pengunjung setia angkringan, Aziz, seorang mahasiswa yang berasal dari gunung kidul. Dengan santai, ia menceritakan kedekatannya dengan dunia angkringan.
Â
"Saya hampir tiap malam ke sini. Kadang bareng teman, kadang sendirian sambil nugas. Di angkringan itu suasananya beda, mba. Nyaman, murah, dan santai," ujarnya sambil menikmati nasi kucing dan teh panas.
Bagi Aziz dan banyak anak muda lainnya di Jogja, angkringan bukan sekadar alternatif makan malam murah. Lebih dari itu, angkringan adalah tempat berkumpul tanpa batasan status sosial. Siapa pun bisa duduk berdampingan di tikar, berbagi tawa, atau sekadar mengobrol soal kehidupan.
Â
"Kalau di kafe itu kan kadang mahal dan agak kaku. Di angkringan kita bisa ngobrol bebas, bahkan bisa kenalan sama orang baru. Rasanya kayak keluarga sendiri," tambah Aziz.