Mohon tunggu...
Azalia Purbayanti Sabana SH MH
Azalia Purbayanti Sabana SH MH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Law

Ius Est Ars Boni Et Aequi. Belajarlah menghargai sesama manusia tanpa pandang bulu. Jangan pernah meremehkan dan menyepelekan seseorang yang sedang berproses, karena sesungguhnya ia bersama perlindungan tuhannya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menyorot Ihwal Justice Collaborator Sebagai Dasar Peringanan Pidana

26 Februari 2023   17:02 Diperbarui: 2 Maret 2023   12:01 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).(KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Oleh : Azalia Purbayanti Sabana, S.H., M.H.

Sepekan lalu, publik dihebohkan dengan vonis persidangan kasus Sambo cs yang melibatkan beberapa terdakwa diantaranya Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer.

Kelima terdakwa tersebut dijatuhi vonis yang berbeda-beda oleh Majelis Hakim, namun yang paling membuat publik terkesan adalah penjatuhan vonis kepada terdakwa Richard Eliezer dimana vonis yang diberikan bersifat ultra petita jauh dibawah tuntutan JPU yaitu dari 12 tahun menjadi 1 tahun 6 bulan.

Hal tersebut memunculkan banyak apresiasi dari kalangan masyarakat, para pejabat, para pengamat hukum, dan para amicus curiae.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Eliezer telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana yang menewaskan Alm. Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Dalam ratio decidendinya, Majelis Hakim mengabulkan dan menetapkan terdakwa Eliezer sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap fakta persidangan dan membuat jalannya perkara menjadi terang benderang. 

Penetapan tersebut berdasar atas pengajuan permohonan perlindungan yang diajukan oleh Eliezer kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kemudian LPSK merespon pengajuan tersebut melalui surat rekomendasi status justice collaborator setelah meng-assesment konsistensi kesaksian dan perilaku Eliezer dalam persidangan.

Dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya (in criminalibus probationes debent esse luce clarions) termasuk di dalamnya adalah keabsahan dan kesesuaian antara alat bukti satu dengan alat bukti yang lain agar membuat terang persidangan.

Jika kita tilik kebelakang, pada awal persidangan terjadi banyak ketidakkonsistenan jawaban antara saksi satu dengan saksi lainnya seperti kesaksian Susi ART Sambo dan Kuat Ma’ruf terkait peristiwa di Magelang sehingga Majelis memutuskan untuk mengonfrontasi keduanya serta perbedaan kesaksian Eliezer dan Sambo terkait sarung tangan. 

Jika diruntut dalam alur yang sama, perbedaan kesaksian tersebut dapat menimbulkan misleading di persidangan. Maka dari itu, urgensi adanya peran esensial dari seorang justice collaborator sangat dibutuhkan untuk menyibak tabir kebenaran sehingga Majelis Hakim tidak ragu-ragu dalam menjatuhkan putusan dan persidangan selamat dari kesesatan.

Berbicara mengenai pembuktian, merujuk pada ketentuan pasal 183 KUHAP, bahwa dalam memutus suatu perkara selain menggunakan dua alat bukti yang sah, Hakim juga harus mempunyai keyakinan akan kebenaran sebuah peristiwa. Keyakinan Hakim ini harus mengandung prinsip yang tak dapat diragukan lagi (beyond reasonable doubt). Untuk mendapatkan keyakinan yang mutlak maka diperlukan faktor determinan yang sangat kuat guna mendapatkan suatu keyakinan yang sempurna.

Pararel dengan ketentuan diatas, kedudukan justice collaborator berfungsi untuk menetakkan keyakinan Majelis Hakim atas suatu perkara lewat perannya dalam memberikan kesaksian secara jujur dan terang-terangan dalam persidangan. Dalam hal ini, kontribusi Eliezer sebagai justice collaborator sangat membantu Majelis Hakim dalam membuka kronologi peristiwa dan fakta persidangan yang sebelumnya begitu rancu dan membingungkan. Kesaksian Eliezer tersebut terbukti menjadi angin segar bagi hakim dalam memutus perkara.

Determinasi & Payung Hukum Justice Collaborator

Munculnya terminologi justice collaborator berawal dari ratifikasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 atas Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 pada pasal 37 dan ratifikasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 atas Konvensi PBB Anti Kejahatan Transasional yang Terorganisir tahun 2009 pada pasal 26.

Kedua konvensi ini merupakan cikal bakal ihwal justice collaborator yang mengintrepertasikan bahwa setiap Negara wajib mempertimbangkan kemungkinan pengurangan hukuman bagi pelaku yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan atas suatu kejahatan.

Nilai-nilai moralitas hukum yang terselip pada konvesi tersebut kemudian diadopsi dalam norma hukum nasional dengan terbitnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam ketentuan pasal 10 dijelaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka apabila terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tidak dapat dibebaskan, melainkan kesaksiannya dapat dipertimbangkan sebagai dasar untuk meringankan hukumannya.

Sejalan dengan hal itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 sebagai ketentuan pedoman lebih lanjut yang mengatur tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) yang pada intinya beberapa landasan hukum tersebut mengakui kedudukan serta eksistensi justice collaborator dalam perkara pidana tertentu atau pidana yang bersifat terorganisir secara substansial.

Syarat & Hak Justice Collaborator

Syarat seorang saksi pelaku untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana namun bukan pelaku utama, serta mampu bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bukti yang sebenar-benarnya sejak proses penyidikan, penuntutan, sampai persidangan.

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat sejumlah hak yang diberikan kepada justice collaborator.

Pertama adalah hak mendapatkan perlindungan hukum. Seorang justice collaborator tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Jika terdapat tuntutan hukum terhadap justice collaborator atas kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kedua, yaitu hak mendapatkan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan. Penanganan khusus yang akan diberikan berupa pemisahan tempat penahanan antara saksi pelaku dengan terdakwa lainnya, serta dalam memberikan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa lainnya.

Ketiga, justice collaborator juga akan diberikan penghargaan atas kesaksiannya yang dapat berupa keringanan penjatuhan pidana, atau pembebasan bersyarat, pemberian remisi tambahan dan hak narapidana lain sesuai peraturan yang berlaku. 

Berkenaan dengan vonis Eliezer, jika kita analisa dalam pertimbangan putusan, Hakim memuat alasan peringan diantaranya terdakwa bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihukum, masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki perbuatannya kelak di kemudian hari, serta keluarga korban telah memaafkan perbuatan terdakwa. 

Hal inilah yang menjadi faktor pertimbangan vonis ultra petita yang diberikan Hakim kepada Eliezer sebagai hadiah atas kejujuran dan sikap kooperatifnya dalam membuat terangnya persidangan. Alasan peringan tersebut kemudian diakumulasi dengan status justice collaborator. Hal itulah yang menjadi diktum dalam meringankan hukuman pidananya.

Meskipun penetapan status justice collaborator Eliezer menuai pro dan kontra, terlepas dari sengkarut tersebut, atas ikhtisar putusan Hakim, kita harus tetap bercermin pada asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus oleh Hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. 

Artinya, kita harus menghormati putusan Hakim sebagai kekuatan yang mengikat (Bindende Kracht) dan kita harus menghargai judicial activism yang dibuat oleh Hakim dalam mewujudkan keadilan.

Selain itu, kita juga harus meyakini bahwa dalam pertimbangannya, Hakim telah memuat dasar hukum progresif seperti yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo yaitu hukum dibentuk untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun