Seperti lipstik yang dipoles, hanya saja bukan pada bibir, tapi pada seluruh wajah langit malam. Merah membara jika kau mengarahkan pandang pada langit di atas sana. Ia merona, memikat, meski dari kejauhan. Beberapa jam lalu padahal rumah-rumah penduduk kampung itu baru saja hancur-lebur oleh entah apa, ia tak benar-benar dapat dilihat, dan sekejap datang.
Tanpa notifikasi, tanpa aba-aba, tiba-tiba saja semua batang-batang pohon tercerabut dari akar, semua kepingan asbes, plafon, batu-batu bata, pintu-pintu juga jendela, pot-pot gantung, teralis-teralis besi, potongan-potongan tubuh melayang ke udara. Seperti debu semua tersapu, berputar dan berputar, lalu semua hilang entah ke mana. Bahkan tak sempat ada ratap, tak sempat ada tangis, tak sempat berteriak, atau kesemuanya itu tak terdengar oleh telinga. Hampir seluruh kampung habis, menyisakan satu pemandangan menyayat kalbu. Tinggallah sebuah rumah di ujung gang saja tegak berdiri, meski atapnya telah terbawa oleh sesuatu yang entah apa itu. Dinding-dindingnya bertahan serupa sebatang pohon tua yang meranggas di tengah padang yang sunyi. Sebuah kepingan cerita mungkin saja adalah alasan yang menyelamatkan rumah di ujung gang itu dari kehancuran.
__
Tangis memecah kesunyian. Bau busuk menyeruak. Kipas angin di atas plafon menyebarkan bau dan dinding memenjarakannya beberapa saat. Hal itu membuat hidung seorang lelaki muda yang tengah terlelap menghidu bau yang belum mau keluar lewat ventilasi kecil di atas jendela. Lelaki muda membuka mata, memandang ke sisi ranjang lain di antara cahaya remang--sepotong wajah perempuan muda terbaring di sana nampak gelisah dan sesekali mengerut-ngerutkan kening, meski terlihat memejamkan mata.
Segera lelaki muda bangkit. Secarik tisu basah diambil, mengangkat pantat bayinya, lalu membersihkan kotoran dari sana. Digantinya popok kain dengan yang baru. Perempuan kini  telah terusik sempurna dan lekas membuka kancing daster. Disorongkan buah dada yang padat, dan mulut si bayi perlahan meraihnya. Seiring memudarnya tangis, sunyi kembali mengambil tempat.
Lelaki muda pergi ke kamar mandi, menenteng popok kain, isi dan bau yang tertinggal di dalamnya. Air yang mengalir dari keran yang dibukanya menghantam popok kain. Jempol kaki lelaki muda mulai menggosok kotoran-kotoran yang luruh dan terbawa ke lubang pembuangan, bau perlahan menghilang seiring deterjen yang ditaburkan tepat di atas popok. Perlahan  buih-buih bermunculan, selepas sikat menari-nari di atasnya.Â
__
Seorang remaja lelaki muncul dari atas dinding tanpa atap. Ia berdiri pongah dan mengeluarkan selang dari balik resletingnya. Air terpancar ke bawah. Dua orang lelaki dan perempuan berdiri. Pancaran air mengalir di kedua wajah dengan guratan tua itu. Keduanya bergeming, dengan tatapan kosong memandang ke atas.
Lelaki tua menggerakkan bibirnya, tapi tak terdengar jelas berkata apa. Begitupun ketika perempuan tua menggerakkan bibirnya, tak terdengar jelas suaranya.Â
Yang menyeruak hanya aroma benzena, toluena dan xilena yang bercampur, memenuhi paru-paru mereka. Sebatang korek dari atas menyala di lempar. Api melaksanakan tugasnya.Â
Anak lelaki melompat keluar dari dinding rumah, membawa tangki di tangan kiri, korek api di tangan kanan, dan berlari bagai setan menembus kegelapan.
***
Terinspirasi dari sebuah berita tentang seorang pemuda yang membakar rumah orang tuanya karena tak dibelikan sepeda motor : https://www.detik.com/jabar/cirebon-raya/d-7623388/pemuda-cirebon-bakar-rumah-ortu-gegara-tak-dibelikan-motor
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI