"Minggat. Pulang kampung."
"Ah! Kok bisa?"
"Kan kamu yang minta."
"Minta apa?"
"Bapak sudah ceraikan Emak, besok kita cari emak baru, sama sepeda yang kamu minta itu! Makanlah itu KAEPCI kesukaan kamu, es krimnya ada di kulkas, abis itu jangan maen gim kelamaan, terus tidur ya. Bapak capek sekali hari ini."Â
"Ah Bapak sih kasus! Orang bercanda diseriusin!"
Tole pun mengambil gawainya dan menelepon nomor emaknya. Tak ada jawaban. Ah paling-paling shopping. Diceknya instogram emaknya, tak ada story, tak ada postingan makanan, tak ada apa-apa. Terakhir emaknya cuma menulis status di pesbuk,
[kalau memang ini yang terbaik, yasudah, saya terima nasib]
Tole mulai gelisah. Biar begitu, ia mencoba tenang. Paling-paling emaknya akan pulang dua-tiga hari lagi. Paling-paling semua hanya ekting. Tapi benar, besoknya Pak Pono ajak tole pergi ke toko sepeda, membelikannya sepeda baru. Namun, emaknya tak kunjung pulang, dan yang membuat batinnya makin tak karuan adalah kejadian yang satu itu.Â
Sedari hari kedua Pak Pono pasang aksi, ia telah telepon-teleponan sengaja diperdengarkan. Malam ketiga itu Tole sudah menunggu-nunggu sebenarnya. Dan suara perempuan di hape Pak Pono  tentu membuyarkan konsentrasi Tole yang tengah berpura-pura asik maen gim. Ia terpancing dan  ikut-ikut nguping pembicaraan Bapaknya di telepon itu.Â
"Mas, saya tunggu di tiang listrik dekat langgar ya, saya udah kangen berat nih," ucap perempuan itu. Tole begitu serius mendengarkannya. Panas kupingnya, karena ia tahu betul, nampaknya itu bukan suara emaknya.Â