Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dua Puluh Satu April

22 April 2021   04:02 Diperbarui: 22 April 2021   04:25 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kartiyem, bukanlah putri seorang Bupati. Ia hanya anak petani garap. Tentu saja ia juga tak mengenyam pendidikan tinggi. Cuma lulusan SMP  yang terlalu menikmati pelajaran Sastra dan Bahasa Indonesia, juga buku-buku terbatas di sekolah hampir roboh berjarak puluhan kilometer dari rumah. Tulisan-tulisannya juga hanya curahan hati yang ditulis pada lembaran buku tulis bekas pakai. Semakin banyak ditulisnya curahan hatinya sebagai perempuan semenjak ia harus dinikahkan oleh ayahnya dengan Paino--beberapa tahun lalu--seorang kuli angkut pasir yang semakin hari semakin tidak jelas nasibnya. 

Siang hari itu, Paino cepat pulang, dengan telanjang dada, penuh peluh bercampur butir pasir menempel di sana-sini. Ia melihat tak ada apapun untuk dimakan di atas meja, malah menemukan Kartiyem duduk di ranjang, sedang asyik dengan buku dan pensil setengah pakainya. 

"Kamu ndak masak!"

"Cepat sekali pulangnya, Kang?"

"Aku ini letih! Dablek!" Direbutnya buku yang telah usang itu. Dibacanya tulisan sang istri. 

--------

Oh Gusti. Andai saja, aku adalah Kartini. Mungkin dukaku akan dikenang sepanjang masa, setiap hari kelahiranku jadi sebuah peringatan, Orang-orang akan berdandan seperti potretku pula, alangkah senangnya. 

--------

"Kartini-Kartini! Kartini ndak kasih kamu makan tahu! Sudahi curhatan ndak jelasmu itu, tolol!" Paino merobek buku itu. Dibakarnya buah pikir Kartiyem di pawon belakang rumah. 

Setiap tanggal dua puluh satu april, Kartiyem tentu saja iri, ia menulis apa pun ndak ada yang peduli. Jika diingat suatu kali dulu, pernah ia membaca tulisan-tulisan anak ningrat itu. Andai Raden Ajeng itu sama sepertinya, anak petani biasa, apakah tulisannya akan diperhatikan orang banyak? Apakah curahan hatinya itu juga akan terkenang sepanjang masa?

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun