Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kota yang Kini Mati

27 November 2020   17:13 Diperbarui: 27 November 2020   17:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Langit sore begitu-begitu saja. Belum jadi merah bercampur ungu, masih biru, terang tanpa mendung. Kota begitu sepi. Tak ada apa-apa di jalan raya. Pono hanya sendirian di sana. Berjalan di tengah tanpa masalah. Tak ada deru kendaraan, tak ada kemacetan, atau kecelakaan. Tak ada lalu lalang  pejalan,  tak ada pedagang, tak ada pengamen, tak ada peminta-minta. Semua begitu saja lenyap entah ke mana. Tak ada kehidupan. Kecuali ia sendiri bersama belantara beton usang tumbuh di sana-sini yang juga sepi penghuni.

Ia berjalan dan berjalan entah tak tahu ke mana tujuan. Ia bisa pergi ke mana saja. Tapi kota itu, tak dapat benar-benar ia tinggalkan. Setiap sudutnya adalah kenangan. Pono bisa tidur di mana saja yang ia mau, SPBU, beranda masjid, kolong jembatan layang, emperan, di depan pertokoan yang tutup, halte, kantor polisi, bangku terminal,  bekas gedung bioskop, dan kini semuanya kosong, tak seperti dulu. Semuanya tak lagi berjalan seperti biasanya.

Kota itu mungkin telah mati. Lagi pula sejak kapan ada kehidupan di kota? Baginya, kota selalu mati. Di sana tak pernah ada denyut kehidupan. Yang ada di sana hanyalah kepentingan. Jadi sama saja. Bagi Pono, dalam keramaian kota, tetap saja ia merasa sendiri. Sepi. Orang-orang datang dan pergi, lahir dan mati, tanpa bekas apa-apa. Maryam juga pergi. Dan Pono merasa, bahwa kepergiannya adalah hal yang biasa saja. Ia pun tak mengenalnya sebelumnya, jadi apa masalahnya?

Pertemuan dan perpisahan hal yang biasa-biasa saja. Kalau tidak pergi dalam keadaan hidup, ya dalam keadaan tak bernyawa. Hidup terlalu sebentar untuk menyesali sesuatu atau menangisi sesuatu. Siapa yang bisa mengatur perjumpaan dan perpisahan? Apakah dirinya? Barangkali jauh di dalam lubuk hatinya menyesali mengapa tak menahan Maryam ketika itu, dan melawan pemburu-pemburu yang menangkap si burung kecil.  Namun ketika diipikir, apa hal yang bisa dilakukannya? Tidak ada yang bisa dilakukan selain menjalani saja apa yang ada. Entah bagaimana jadinya nanti.  Itu bukan urusannya.

Dulu ia pernah bertanya-tanya, untuk apa Tuhan memberikan sebuah perjumpaan jika nanti cepat atau lambat harus berpisah? Siapapun itu, orang tua, kawan, teman dekat, kelak juga berpisah, jadi untuk apa segalanya?

Barangkali kemudian Pono dapat berasumsi, bahwa segalanya itu adalah anugerah Tuhan.  Diberikan-Nya waktu untuk menikmati sesaat perasaan bagaimana dunia penuh warna, bagaimana cinta kasih dan bisa saling menyayangi dengan sesama manusia, adalah hal yang begitu berharga. Namun bagaimanapun juga, bukan dirinya pemilik segala. Semua yang diberikan dapat diambil kembali. Karena Dia lah yang tentu punya hak mutlak untuk berbuat apa saja.

Kota mati itu ditinggalkannya. Petang telah tiba, ketika belantara beton itu berganti, terlihat pepohonan di sana-sini. Aspal-aspal pun berubah menjadi  jalan-jalan tanah yang kadang becek. Di matanya kini pula terganbar jelas kemudian sebuah perkampungan kecil yang begitu damai dalam harmoni.

"He! Itu Pono!" Teriak salah seorang yang mengenalinya.

"Kemana saja kamu, No?"

Pono tak menjawabnya, hanya tersenyum seraya berjabat tangan. Kakinya terus berjalan. Ia kembali, kembali kini menjejakkan kakinya di depan beranda rumah keluarganya yang telah lama ditinggalkan untuk berkelana ke sana-sini. Meski melupakan hari-hari berwarna ketika bersama Maryam sungguh amat berat dalam hatinya, tapi hidup memang sudah dan harus terus berjalan. Setidaknya, saat ini ia tak lagi berada di kota yang telah mati.

***

Harmoni, November 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun