Mohon tunggu...
Yusron Rosyadi
Yusron Rosyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa 4 sehat 5 burjonan IG : @rosyadiyusron

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemilu Penyebab Perpecahan, Boleh Tidak Diganti "Hompimpa" Saja?

26 April 2019   21:35 Diperbarui: 27 April 2019   02:19 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://palembang.tribunnews.com

Pemilihan Umum telah diselenggarakan bulan ini tepatnya tanggal 17 April 2019 Masehi. Saya termasuk golongan orang yang bahagia dengan pemilu, karena pemilu telah melukiskan tinta merahnya di kalender, Alhamdulillah. Yang mengherankan mengapa goresan tinta merah itu tidak bisa meredam panas api pemilu ini? 

Gejolak pemilu malah makin hari kian memprihatinkan. Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini hanya disibukkan tentang presiden pilihannya siapa. Tak mengapa sih, tapi kalau sampai menimbulkan perpecahan terus mau dibiarkan gitu. Hari demi hari dihabiskan hanya untuk saling hujat membela junjungannya masing - masing. Walau tidak dibayar sepeserpun mereka rela mengerahkan jiwa dan raganya untuk menghujat orang yang berbeda pilihan dengannya.

Demokrasi dengan kebebasan berpendapat memang sudah satu paket. Dalam sistem demokrasi adanya kebebasan berpendapat merupakan syarat yang mutlak tanpa bisa diganggu gugat. Yang jadi masalah kebebasan berpendapat dalam demokrasi juga ada batasnya. Jangan karena kita menganut sistem demokrasi terus kita seenaknya saja menghujat sana sini. 

Sudah banyak masyarakat yang berhubungan dengan pihak berwajib karena pemilu dari mulai kasus menyebar hoax sampai ujaran kebencian. Contohnya saja kasus yang lagi booming yaitu kasus istri dari host Ini Talkshow Andre Taulany, istrinya diduga menghina salah satu calon presiden. Sudah diklarifikasi oleh yang bersangkutan bahwa akun istrinya diretas oleh seseorang tapi tetap saja itu berkenaan dengan pemilu walau yang mengirim bukan istri Andre Taulany.

Dalam survei yang dilakukan Polmark Research Center (PRC) pada Januari 2017 ditemukan bahwa ada sebanyak 4,3% responden menjawab hubungan pertemanan rusak pasca pilpres 2014. Data itu diambil dari riset yang dilakukan terhadap 1.200 responden di DKI Jakarta dengan margin of error (MoE) 2,9%.

Demikian juga pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ada 5,7% hubungan pertemanan pemilih rusak. Pilkada "paling panas" itu diwarnai hoax seputar isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Perpecahan ternyata sangat subur di Pemilu ini. Bagaimana tidak subur, kalau terus disirami dan diberi pupuk. Para Politikus yang seharusnya memberi pelajaran politik yang santun dan damai kepada masyarakat kenyataannya malah merekalah yang memberi contoh masyarakat untuk saling membenci. 

Mereka saling hujat di sosial media, menyebarkan hoax yang sudah dirangkai begitu cantik agar masyarakat percaya dan mirisnya tidak pernah sama sekali merasa bersalah sudah melakukan hal - hal tersebut. 

Duh, pak, buk, politikus yang terhormat mbok ajarkan kami yang buta akan politik  ini dengan cara yang benar. Jangan malah mengajak kami untuk ikut arus kalian yang sudah rusak itu, dooong!

Kalau pemilu merusak bhineka tunggal ika, coba kita merenung sejenak dan membayangkan mengganti pemilu dengan cara yang agak mainstream. Tapi nol perpecahan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengganti pemilu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun