Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Fungsi Bahasa Daerah di Kompasiana

15 Juni 2011   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

[caption id="" align="alignleft" width="280" caption="Kita punya 742 bahasa daerah di seluruh Indonesia!/melayuonline.com"][/caption] Pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota republik ini hingga sekarang, saya merasa masih seperti berada di kampung halaman. Bagaimana tidak? Hampir semua orang yang saya temui bisa berbahasa Jawa seperti saya. Memang sih, adakalanya waktu di angkot saya mendengar dialog antara supir dengan penumpang di sebelahnya, dialog yang sama sekali tidak saya mengerti, walaupun saya bisa menduga mereka memakai bahasa Aceh atau sejenisnya. Memang, di tempat asing seperti Jakarta ini, bercakap dengan menggunakan bahasa daerah bisa "sedikit" menolong kerinduan akan kampung halaman. Selain itu, ada pula semacam perasaan senasib sebagai perantau di kota yang katanya mau hijau tapi selalu "di-kelabu-i" oleh asap knalpot ini. Selain itu, bahasa daerah juga bisa digunakan layaknya kata sandi para agen rahasia, jika tak ingin isi pembicaraannya diketahui orang lain. Nah, sudah menjadi rahasia umum, bahwa para kompasianer berasal dari berbagai tempat, baik di pelosok tanah air maupun di luar negeri. Dan, kita juga tahu bahwa masing-masing kompasianer setidaknya menguasai dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa ibu, alias bahasa daerah. Di Kompasiana ini, penggunaan bahasa daerah jarang saya jumpai. Rata-rata sepertinya bersepakat untuk menulis dalam bahasa Indonesia, meski tak harus baik dan benar. Akan tetapi, fenomena penggunaan bahasa daerah sepertinya makin marak saya dapati, dan sayangnya, (kalau tidak salah) bahasa daerah yang luhur itu "disalahgunakan" untuk menggunjingkan satu atau lebih kompasianer oleh para kompasianer yang kebetulan sepaham dan menggunakan bahasa daerah yang sama. Ya positifnya sih saya bisa tahu sedikit-sedikit tentang bahasa daerah, menjadi sedikit lebih mengenal nusantara. Tapi negatifnya, jika kebiasaan ini diteruskan, maka itu sama saja membuat pengkotakan di Kompasiana. Kompasianer atau pembaca yang tidak tahu artinya hanya bisa melongo dan masih bagus jika tidak berprasangka buruk terhadap pengguna bahasa daerah tersebut. Lagipula, memangnya (para) Kompasianer yang sedang digunjingkan tak punya kawan yang juga berbahasa ibu seperti itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya? Jadi sebenarnya pergunjingan itu sia-sia belaka menurut saya, selain hanya menunjukkan sisi jiwa yang takut mengatakan isi pikiran secara langsung. Saya rasa bahasa daerah perlu juga sesekali dipakai di Kompasiana, tapi tentu saja untuk kemanfaatan, bukan sebaliknya. Misalnya, untuk menggambarkan sebuah perasaan atau peristiwa yang belum ada padanannya di dalam bahasa Indonesia. Siapa tahu, istilah bahasa daerah kita bisa diserap KBBI dan memperkaya khasanah bahasa nasional kita? Salah satu contoh, misalnya adalah kata "keblondrok" dalam bahasa Jawa (Semarang). Kata itu menggambarkan sebuah peristiwa dimana seorang pembeli terlanjur membeli sebuah barang namun kemudian mendapati bahwa ia seharusnya bisa mendapatkannya dengan harga yang jauh lebih murah. Pembeli itu--kata saya yang orang Jawa--telah "keblondrok." Hmmm... jadi penasaran nih, apa padanan kata "keblondrok" ini dalam bahasa daerah anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun