Mohon tunggu...
Rima Aisha
Rima Aisha Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pemahaman tentang Istilah Arsitektur dalam Pemasaran

22 Maret 2018   22:03 Diperbarui: 22 Maret 2018   23:17 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Palazzo Santa Sofia (sumber: archdaily.com)

Seberapa sering kita mendengar iklan yang memasarkan hunian? Mungkin tak terlalu jarang kita temukan lewat reklame di pinggir jalan, brosur di pusat perbelanjaan, dan acara khusus di televisi. Mungkin tak sedikit pula di antara kita yang sudah tak asing dengan sebutan rumah gaya Victoria, Mediterrania, Gothic, dan sebagainya. Mungkin kini kita lebih terbiasa dengan promosi rumah gaya modern dan minimalis. Atau malah, mungkin juga kita sudah mengenal istilah modern-minimalis, modern-klasik, dan paduan-paduan beragam gaya lainnya. 

Lantas, hunian seperti apakah yang sebetulnya kita butuhkan? Arsitektur seperti apa yang paling tepat untuk kita hidupi? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tak bisa singkat terjawab. Namun, maraknya penggunaan dan pembiasaan istilah-istilah tersebut menimbulkan pertanyaan baru mengenai pemahaman kita sebagai konsumen tentang produk yang dipasarkan para pengembang dan pengusaha properti, tentang prinsip hunian ideal, dan tentang arsitektur itu sendiri.

Palazzo Santa Sofia (sumber: archdaily.com)
Palazzo Santa Sofia (sumber: archdaily.com)
Untuk mencoba menjawab isu tersebut, kita bisa mempelajari beberapa karya arsitektur yang telah tercatat oleh sejarah. Gambar di atas menunjukkan bangunan Palazzo Santa Sofia. Terletak di Venesia, Italia, bangunan yang terbangun pada 1436 ini mungkin dapat memberikan gambaran mengenai gaya arsitektur Venetian Gothic. Pada bangunan ini, fitur khas dari arsitektur Gothic dapat ditemukan salah satunya di bagian atas kolom-kolom yang berderet di fasad bangunan. Di bagian tersebut kita dapat melihat bentuk lengkung hampir oval dengan ujung yang lancip. Mengadopsi karakter dari gaya arsitektur Gothic, detail dan ornamen pada fasad dan interior rumah ini secara simbolik menunjukkan kemahsyuran dan kekayaan sang pemilik pada saat itu, Marin Contarini, yang juga merupakan seorang bangsawan terpandang di Venesia.

jengki-wikipedia-org-5ab3ce9adcad5b37526fae92.jpg
jengki-wikipedia-org-5ab3ce9adcad5b37526fae92.jpg

Rumah Jengki (sumber: en.wikipedia.org)

Sedangkan, gambar berikut merupakan sederet rumah Jengki. Dibangun oleh arsitek Belanda, rumah-rumah ini diperuntukkan kepada pegawai perusahaan minyak Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM, kini Pertamina) di daerah Kebayoran Baru. Atap dan dinding yang miring seperti tampak pada gambar merupakan implementasi fungsional dalam rangka menciptakan jalur talang air yang rapi sehingga tidak mengganggu fasad. Rupa yang demikian juga tercipta atas penyesuaian gaya arsitektur modern dengan iklim tropis Indonesia. Karakter yang khas dari rumah-rumah ini kemudian menyebabkan munculnya julukan rumah Jengki, berasal dari kata Yankee, merujuk pada sesuatu yang dianggap trendi pada masa itu.

Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa rumah Jengki bukanlah gaya hunian yang secara sengaja dibuat oleh sang arsitek atas prinsip formalis, melainkan merupakan sebutan yang lahir seiring popularitasnya saat itu. Sedangkan, gaya arsitektur Gothic memang dapat diamati dari keberadaan detail serta fitur tertentu yang dengan sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politis dari karya arsitekturnya.

Parthenon (sumber: ancient.eu)
Parthenon (sumber: ancient.eu)
Selain itu, kita juga bisa mencoba mengulas istilah-istilah yang digunakan pada pemasaran hunian di media. Gambar di atas adalah gambar Parthenon, salah satu bangunan kuil peninggalan peradaban Yunani yang menjadi karya penting dalam sejarah perkembangan arsitektur Eropa. Seorang tokoh arsitektur modern yang dikenal dengan bangunan-bangunannya yang minimalis, Ludwig Mies van der Rohe, mengadopsi prinsip-prinsip struktur dan tektonik yang ada pada Parthenon untuk kemudian mewujudkan rancangannya. Pada 1956, terbangunlah Crown Hall di Chicago, Illinois, sebagai gedung sekolah arsitektur yang menjadi bagian dari Illinois Institute of Technology. Melihat metode perancangan dan hasil dari rancangan Mies van der Rohe, kita bisa memahami minimalisme sebagai proses ekstraksi intisari dari prinsip pembangunan yang terdahulu. Konsep minimalis diterima sebagai sebuah pemikiran, bukan sebagai ciri yang bisa kita identifikasi dari elemen yang semata-mata tampak seperti warna, bentuk, dan sebagainya.

Crown Hall (sumber: architecture.org)
Crown Hall (sumber: architecture.org)
Perbandingan dan contoh kasus ini tentu bukan bertujuan untuk memberi vonis akan arsitektur mana yang lebih sah untuk dibangun, untuk dibeli. Melainkan, untuk memberikan gambaran akan pemahaman yang terletak di balik suatu istilah atau gaya dalam arsitektur. Hal ini menjadi penting karena paparan promosi yang terus-menerus kita terima melalui media kian mempengaruhi pandangan kita dalam mengartikan arsitektur sebagai komoditas.

Mungkin selain sebagai konsumen yang cermat, kita juga harus lebih jeli dalam memahami makna dari kata-kata ini, dari istilah-istilah yang secara sadar atau tidak turut membangun persepsi kita akan ruang hidup yang ideal.

Kelaziman dari istilah-istilah pemasaran tak selayaknya bercampur dengan pemahaman kita tentang hunian, tentang arsitektur yang sebenarnya kita butuhkan. Masalah perancangan dalam arsitektur sangat lekat kaitannya dengan konteks. Dalam jangkauan tertentu (dan tentunya masih bisa diperdebatkan), mungkin kita mencapai suatu konsensus bahwa pengertian dari arsitektur yang baik adalah arsitektur yang tak 'mengusik' keadaan yang tersedia, atau malah memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada menjadi suatu kondisi yang lebih baik -- lebih ideal. Kebijaksanaan semacam inilah yang mungkin belum begitu terbiasa ditempatkan dalam keseharian kita, dalam keseharian masyarakat Indonesia pada umumnya. Lagi-lagi, semua itu mungkin terjadi sebagai akibat dari stigma dan opini yang berkembang dalam masyarakat dan tak sempat diklarifikasi oleh pendidikan.

Sebagai perancang, arsitek tentu tak hanya berkewajiban untuk membuat gambar kerja atau representasi grafis dan naratif dari apa yang akan dibangunnya. Permasalahan perancangan adalah permasalahan yang tak pernah usai. Menyelesaikan suatu masalah berarti menimbulkan masalah baru. Sebelum menghasilkan semua luaran representatif dari ide rancangannya, seorang arsitek pasti harus melalui proses panjang dalam mempertimbangkan berbagai variabel untuk memastikan apa yang dibangunnya bisa mengakomodasi kegiatan atau mencapai tujuan tertentu, dengan membuat pengorbanan dan memunculkan masalah baru seminimal mungkin atau malah tidak sama sekali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun