Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunang-Kunang Jangan Pergi

14 November 2021   09:08 Diperbarui: 17 November 2021   15:11 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kunang-kunang Jangan Pergi|foto: Dave/firefly aesthetic forest

Sebuah hutan nan hijau, dipenuhi tumbuhan tropis, menjulang sekaligus bisu. Di seluruh belahan bumi, ia bak rahasia. Ia tergenggam dalam mantra-mantra penyihir yang kejam.

Naura, telah sewindu lebih menyatukan diri dengan seisi hutan. Ia dirubah wujudnya menjadi pohon tak berarti. Di suatu musim, bunga-bunga kecilnya bermunculan, menawan hati ribuan serangga jantan.

Mariah sangat tak suka. Tawanannya ini bukan lagi putri raja yang menyamai seorang bidadari. Ia hanyalah spesies berdaun kecil yang bahkan tak bisa dijadikan tempat berteduh tuan burung yang kebasahan. 

"Hhhh... apa aku harus merubah wujudmu lagi, menjadi anak kelelawar yang kelaparan??" murka sang penyihir. Matanya melotot, nyaris keluar, seperti Pinto dari Brazil.

Naura menggigil, sangat ketakutan. Tapi sedikit pun ia tak dapat beranjak dari tempatnya.

Ia pernah mendengar kisah pemburu rusa yang dikutuk menjadi kelelawar yang kelaparan. Mariah menjadi kalap, saat orang-orang itu mengatakan penyihir adalah dongeng. Akan memotong leher penyihir, jika kisah mistis itu benar-benar ada.

"Dengar!" hardiknya dengan suara membelah langit. "Ayahmu adalah raja yang gila kekuasaan. Ia rela membuang gadis kecil tak berguna seperti dirimu. Jadi kau jangan macam-macam!"

Naura yang dijelmakan sebagai pohon, melayukan daun-daunnya, demi mendengar perkataan sang penyihir. Ia menjatuhkan banyak bunga anting putri ke permukaan tanah, sebagai tanda duka cita.

Ya, saat usianya hampir menyentuh sembilan tahun, baginda raja membuat perjanjian dengan Mariah yang jahat. Baginda akan memiliki kekuasaan seluas-luasnya, bila setuju menukar dengan dirinya. 

Ibunda Ratu tak berkutik. Naura diungsikan ke dalam hutan. Dikutuk menjadi pohon kecil di tengah hutan, sampai waktu yang belum ditentukan. Jika baginda menginginkan ia pulang ke istana, maka kerajaan akan runtuh. Dan saudara laki-lakinya tidak akan bisa menjadi pewaris.

Sesaat wanita berjubah itu membalikkan badannya, lalu melesat meninggalkan hutan. Aroma terbakar, menyeruak untuk beberapa lama.

Naura bersyukur, Mariah belum melontarkan mantra apapun. Setidaknya ia belum berubah menjadi anak kelelawar yang kelaparan. Yang konon tak pernah kenyang memakan apapun, sampai harus mengisap darah manusia.

Tiba-tiba suasana hutan menjadi benderang. Udara berubah sejuk kembali. Naura bisa melihat rimbunan pakis disinari serangga yang terbang. Berseri.

Seperti biasanya, ratusan kunang-kunang menghinggapi dan memenuhi ranting-ranting kecilnya. Dari kejauhan tampak seperti pohon lampu nan jelita. 

"Engkau tenanglah..." bujuk salah satu dari mereka. "Percayalah tentang kebaikan hati yang akan mengalahkan kejahatan apapun di dunia. Kami diutus oleh ratu untuk melindungimu..."

Selesai mengatakan itu, kelompok serangga menyala membentuk barisan, bergerak keluar hutan. Naura memangilnya, namun mereka tetap terbang menjauh. 

Disaksikannya hewan-hewan itu mengepakkan sayap sambil berkelipan. Cahaya mereka begitu indah dalam formasi searah. 

"Apakah suatu hari aku akan terbebas dari mantra penyihir itu?" bisik Naura penuh harap. 

Ia mengingat-ingat kembali perkataan sahabatnya, kunang-kunang. Kebaikan hatinya akan mengalahkan kejahatan apapun di dunia. Tetapi kebaikan hati seperti apa? 

*

Matahari bersinar terik di atas hutan tak dikenal. Tak sekali pun angin datang berembus. Bunga-bunga kecil putih menggantung tanpa bergoyang. 

Naura merasa musim panas mengeringkan batangnya yang coklat. Sebagian daun-daunnya menguning dipanggang sang takdir. Sebuah genangan kecil, tempat minum para hewan, tak mampu dijangkau oleh akarnya saat ini.

Hup! Tiba-tiba seekor bunglon Panther menerjang dirinya. Terengah-engah kelelahan dengan wajah ketakutan.

"Wahai pohon kecil, tolong selamatkan aku dari manusia. Mereka ingin membawaku..." pinta reptil jantan bertubuh besar. 

"Aku harus menjaga betinaku yang sedang hamil. Aku tak boleh menjadi buruan mereka demi uang yang banyak. Jenisku akan segera punah!"

Naura mendengarkan perkataan bunglon dengan perasaan sedih. Sudah sering ia mengetahui perburuan satwa yang disukai manusia, dan semua menyasar jenis yang terhitung langka.

"Tenanglah tuan Bunglon, kau aman di sini. Renggangkan saja kulitmu, dan lilitkan ujung ekormu," saran Naura memberi petunjuk.

Rombongan peneliti reptil itu sempat mendekati pohon anting putri. Tapi karena daun-daunnya menguning, rontok dan kecil-kecil, mereka urung berteduh di bawahnya. Keempat lelaki itu berjalan melewati dirinya, lalu menghilang di balik rimbunan pohon.

"Aku selamat!" seru bunglon Panther bahagia. Ia dapat menjaga sang betina sampai melahirkan. Bagus sekali jika ia tak sampai punah. "Baiklah pohon yang baik hati. Aku akan mengabulkan satu permintaanmu sebagai tanda terima kasih. Apa permintaanmu?" katanya lagi.

Naura terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. "Aku tidak layak, tuan Bunglon. Aku ikhlas membantumu," jawab Naura akhirnya.

Menjelang senja, sepeninggal bunglon, Naura kembali diliputi rasa khawatir. Bagaimana kalau penyihir itu datang lagi? Mariah selalu menandai kegelapan dengan bau terbakar, diikuti mantra-manta magisnya. Bahkan karena bunga-bunga putihnya memesona serangga jantan, ia harus menjadi anak kelelawar yang kelaparan.

Di tengah kesedihannya, kembali hutan menjadi benderang. Ratusan kunang-kunang kembali menghiasi dirinya sedemikian rupa. Sampai seisi hutan menjulukinya pohon jelita.

"Semoga engkau baik-baik saja, Naura," sapa kunang-kunang betina. "Teruslah melakukan kebaikan di hutan ini. Kami akan menghinggapimu, dengan jumlah yang semakin bertambah," katanya lagi. Lalu membentuk barisan berkelipan, terbang meninggalkan hutan tak dikenal.

"Tunggu..." seru Naura sedih. Tapi serangga menyala itu terus gegas menuju suatu tempat, entah dimana.

"Kunang-kunang jangan pergi..." keluh Naura meski mereka sudah berlalu. 

Perlahan, sesabit bulan merangkak di langit. Sedikit cahayanya menelusup di sela rimbun daun. Setidaknya purnama masih lama. Mariah tak akan mengutuk apapun saat ini.

Kisah selanjutnya: Putri Naura Terbebas

Semoga cerpen ini menghangatkan bulan November yang dilanda hujan.

Kota Tepian, 14 November 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun