Waktu itu masih bulan-bulan awal atau semester pertama masa pandemi. Kegiatan sekolah dan kantor dialihkan ke rumah masing-masing. Sangat banyak tempat usaha atau kegiatan ekonomi yang terpaksa dihentikan. Hari ke hari, terjadi peningkatan angka penderita covid 19.
Beruntung, Abah masih dengan pekerjaannya, meski kali itu pelaksanaannya di luar kota. Abah baru bisa pulang seminggu sekali. Kami harus menikmati makan sahur dan berbuka puasa tanpa kehadiran Abah. Bahkan di tengah malam pun, kami harus menghadapi rasa takut dengan keberanian dan doa.
Selain aktifitas berkebun yang dapat kami lakukan, memelihara ternak ayam, juga menjadi leluasa. Tanpa kami sadari suatu waktu akan terjadi kondisi berpisah dengan Abah.
Apakah kami menjadi mandiri tanpa Abah?Â
Ya, kemandirian itu sangat berpengaruh. Tidak ada lagi peran Abah dalam pembagian tugas di rumah. Berbelanja di pasar, tidak lagi didampingi Abah.Â
Saat kami kehabisan isi tabung gas 3 kg, saya harus mencarinya sendiri, yang biasanya dikerjakan oleh Abah. Kebetulan saat itu bertepatan pada jam sholat magrib atau sehabis berbuka puasa. Sedangkan untuk mengendarai motor malam hari, sangat saya hindari karena kemampuan pandang yang tidak mendukung. Tapi semua harus saya lakukan.
Minggu pertama Abah tak di rumah, ternyata ayam peliharaan mulai terinfeksi virus. Saya menelepon Abah dan beliau menyarankan ayam yang sakit segera disembelih.
Saya menemui Kaik (bapak saya) yang berjarak setengah jam dari rumah, untuk meminta tolong. Rupanya beliau tidak dapat membantu. Ayam tersebut akhirnya mati, setelah menularkan kepada seekor ayam lainnya.
Saya menelepon Abah lagi, bertanya bagaimana cara mengubur ayam yang mati karena virus?Â
Setelah melakukan apa yang disampaikan, saya menyikat kandang dengan pembersih lantai sampai bersih, serta mengisolasi ayam yang sakit.