Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Mudik, Perantau Lansia, dan Kampung Halaman yang Hilang

23 April 2024   20:13 Diperbarui: 24 April 2024   18:31 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut Pelabuhan Merak. (Dokumentasi pribadi)

Ini cerita mudik yang tercecer.

Bagi seseorang yang lanjut usia (lansia) dan perantau, masihkah punya cerita tentang mudik? Apa masih ada sebuah tempat yang disebut "kampung halaman"?

Tentu saja ada, walaupun sedikit "dipaksakan". Untuk lansia, tempat tinggalnya lah yang seharusnya menjadi tujuan mudik. Tapi, bagaimana kalau ia juga adalah seorang perantau?

Itu yang terjadi pada orang lansia seperti saya.

Orangtua saya berasal dari Bukittinggi, tapi saya lahir dan merasakan masa kecil di Pringsewu, Lampung. Masa remaja hingga dewasa saya habiskan di Jakarta. Dan kini tinggal di Serang, Banten.


Di mana kampung halaman saya untuk tujuan mudik? Jakarta? Rasanya tidak. Walaupun saya cukup lama tinggal di Jakarta, bagi saya Jakarta adalah tetap kota yang sulit menimbulkan rasa kangen.

Bisa sih kangen, asal orangtua kita masih ada. Masalahnya orang tua saya sudah lama meninggal dan dikuburkan di Pringsewu sana. Ke mana saya harus mudik?

Ke Pringsewu!

Menyusuri masa kecil mungkin tidak. Karena kenangan itu hanya tersisa sedikit dalam ingatan. Yang jelas masih ada kakak dan adik sebagai tempat tujuan. Ditambah ponakan-ponakan dan tingkah polah para cucu.

Berita-berita "horor" -- kemacetan yang parah -- menjelang Pelabuhan Merak tak menyurutkan keinginan kami.

Suasana di dek kapal.(Dokumentasi pribadi)
Suasana di dek kapal.(Dokumentasi pribadi)

Kami -- saya, istri, anak, menantu, dan seorang cucu -- memesan tiket untuk keberangkatan pada Minggu malam (7 April), tapi ternyata tiket habis. Akhirnya mendapat tiket keberangkatan tanggal 9 April (pk. 00.00). Namun kami nekat berspekulasi mempercepat keberangkatan pada hari Senin sesudah Dzuhur (8 April).

Ndhilalah, lancar jaya. Kami bisa langsung masuk halaman parkir Pelabuhan Merak. Menunggu tak berapa lama kami sudah masuk kapal. Sekitar dua jam kapal sudah mendekati perairan Pelabuhan Bakauheni. Tapi kapal tetap terapung-apung hingga dua jam lagi, menunggu antrean dengan kapal lain untuk sandar di pelabuhan.

Senja jatuh di Selat Sunda.(Dokumentasi pribadi)
Senja jatuh di Selat Sunda.(Dokumentasi pribadi)

Keluar dari pelabuhan kami menyusuri jalan tol. Keluar di Pintu Tol Kota Baru. Sekitar jam 21.00 kami tiba di Pringsewu.

Sempat menjalani puasa pada hari akhir Ramadan. Pada hari Rabu kami sekeluarga melakukan salat Idulfitri di halaman Pendopo Kecamatan Pringsewu.

Suasana menjelang salat Id di halaman Pendopo Kecamatan Pringsewu. (Dokumentasi pribadi)
Suasana menjelang salat Id di halaman Pendopo Kecamatan Pringsewu. (Dokumentasi pribadi)
Selesai salat ied, seperti biasa layaknya suasana lebaran, kami pun bermaaf-maafan kepada sanak-saudara.

Saling tukar cerita. Dan cerita sesama lansia bukan lagi cerita tentang kesuksesan di rantau. Cerita soal menantu, tentu. Cerita tentang cucu, pasti.

Cerita lansia adalah cerita tentang sudah berapa penyakit yang menyapa tubuh. Asam lambung, darah tinggi, diabetes, asam urat, jantung, katarak. Batuk, pilek, gatal-gatal, persendian ngilu, sering lupa menaruh sesuatu, tidak masuk hitungan. Akhir cerita dibumbui dengan tertawa.

Dan Kota Pringsewu. Saya melihat kota kelahiran saya ini seperti menjadi tempat yang asing. Saya tidak melihat lagi halaman-halaman rumah tempat saya dulu bermain kelereng. Bermain bola menggunakan bola dari kertas dan plastik-plastik yang digulung. Bermain tembak-tembakan dengan senapan kayu. Rumah-rumah kini halamannya dibatasi dengan pagar-pagar. Seperti rumah di kota-kota.

Kali tempat saya mandi-mandi dulu sudah kering. Bau!

Saya pun tidak berkeinginan untuk bertemu dengan teman-teman masa kecil saya. Lagi pula sebagian mungkin sudah meninggal. Atau tengah berbaring didera penyakit yang menahun. Atau, atau tak penting juga mendengar cerita mereka.

Mudahnya transportasi, lancarnya komunikasi, dan mobilitas manusia yang riuh, membuat Pringsewu dan kota-kota lain di Lampung seperti "bersebelahan dinding" dengan Jakarta. Pusat perbelanjaan, jenama-jenama kuliner terkenal yang ada di Jakarta ada juga di sini.

Pemerintah daerah, ingin kotanya disebut maju, seperti berlomba-lomba menciptakan "jakarta-jakarta mini" di daerahnya. Sayangnya, kesemrawutan lalu lintas dan kriminalitas turut disalin.

Ini. Di sinilah kampung tempat kelahiran saya. Saya merasakan kehilangan.

Cuma tiga hari saya di Pringsewu. Kamis pagi berangkat lagi untuk pulang. Kembali menyusuri jalan tol. Di dalam kendaraan kami lebih banyak diam. Sunyi. Memang masih terbawa kehangatan perbincangan saat Idulfitri, ketupat, kue-kue. Tetap berhati-hati saat memakan makanan yang cukup keras. Gigi yang sudah banyak tanggal, 'gemetar' ditampuknya karena sudah lama dipakai.

Apa lagi yang harus saya ceritakan? Cinta monyet? Ah, malu ditertawakan cucu.
***
Lebakwana, April 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun