Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jangan Mati di Jakarta

7 Juli 2020   20:42 Diperbarui: 8 Juli 2020   23:06 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Selamat Datang. Sumber: Jakarta.panduanwisata.id

Ketua RT 05: "Bukan. Surakyat bukan warga kami. Makanya..., kemarin-kemarin diajak kerja bakti nggak mau, uang ronda nggak mau bayar. Sekarang, lagi kesusahan baru nglapor..." 

Ketua RT 06: "Apaan...? Udah jelas dia warga RT 05, kok nglapor-nya ke sini?" 

***

Begini persoalannya. 

Subuh tadi, Gendhuk ( 11 tahun ), anak semata wayang Surakyat meninggal dunia. Sedih, tentu saja. Tapi bukan itu yang membuat bingung Surakyat dan istrinya, di Jakarta ini ia tak punya sanak-famili yang bisa dimintai bantuan. Dengan tetangga pun ia tak ada yang kenal, hanya tahu sambil lalu saja. 

Ia pun melaporkan kepada Ketua RT 05, tempat ia tinggal sekarang ini. Pak RT malah marah-marah. Surakyat tak diakui sebagai warga RT 05. 

"Ada masalah lu baru nglapor. Kemarin ke mana aja? Uang ronda, kebersihan, nggak mau bayar. Kerja bakti nggak mau dateng."

"Tapi sekarang masalahnya anak saya meninggal, Pak RT. Lagian, apa hubungannya orang meninggal dengan kerja bakti?"

"Eh, lu mau nglawan petugas pemerintah? Gini-gini gua ada SK-nya dari Pak Lurah. Gua juga digaji dengan Gubernur. Nah, elu, nglapor nggak kemarin, waktu pertama tinggal di situ? Punya KTP nggak, lu?"

Surakyat tak menjawab. Kenyataannya dia memang tak mempunyai KTP. Seingatnya baru sekali ia mengurus KTP, saat ia akan menikah dulu. Sudah itu ia tak peduli, juga saat pendataan massal untuk pembuatan e-KTP. 

Lalu Surakyat melapor ke Ketua RT 06, karena memang tempat tinggalnya berbatasan dengan RT 06. 

Ketua RT 06 malah tak senang. "Lha, udah jelas-jelas lu tinggal di erte lima, kok nglapor-nya ke sini?" 

Untunglah persoalan itu didengar pengurus masjid, dan ketua pengurus masjid meminta para pemuda masjid dan beberapa warga untuk membantu Surakyat. Tadinya mereka enggan, karena memang selama ini Surakyat tak mau bermasyarakat dengan warga sekitar. 

"Kalau kita tak mau menyelenggarakan jenazah anak Pak Rakyat, kita sekampung kena dosanya," ancam Ketua Pengurus Masjid. 

Akhirnya mereka mau juga, sebagian mempersiapkan untuk memandikan dan menyalatkan jenazah, sebagian lagi mencari tempat pemakaman. Ketua Masjid pula yang membujuk Ketua RT untuk mengeluarkan surat pengantar keterangan kematian. 

Masih dengan kesal Pak RT sendiri yang mengantar ke rumah Surakyat. 

"Uang kuburannya udah ada?" tanya Pak RT. 

"Uang kuburan? Mati bayar, tho?" heran Surakyat. 

"E, Pak, mati suka-suka lu. Ini kontrak kuburannya, tiga tahun. Entar diperpanjang lagi, kalau nggak kuburan anak lu dibongkar, diisi dengan mayat lain."

"Kuburan ngontrak?" Surakyat tak mengerti. 

Melihat itu Pak RT bertambah jengkel. 

"Ini Jakarta. Semuanya bayar di sini. Emangnya elu, ronda sama kebersihan nggak pernah bayar. Rumah juga numpang di tanah orang. Ngerti kagak lu, di Jakarta cuma kentut yang nggak bayar!" kesal Pak RT. 

Ketua Masjid meredakan kemarahan Pak RT, tak baik marah-marah dalam suasana orang berduka. 

Akhirnya disepakati dana dibagi dua, separuh diambil dari kas RT, dan separuh lagi dari kas masjid. Sedang kekurangannya nanti akan minta sumbangan dari warga. 

Menjelang sore baru semuanya selesai. Menggunakan ambulans milik masjid, jenazah anak Surakyat diberangkatkan. 

***

Cilegon, Juli 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun