Nyeri.
Bukan tusukan yang tajam seperti ketika kamu melukai diri sendiri, atau rasa sakit yang menyiksa akibat patah tulang.
Bukan.
Yang ini adalah rasa sakit yang tumpul, berat, dan terbatas. Salah satu yang seolah tak henti-hentinya berupaya meresap ke setiap lubang pori kulitmu. Ini adalah rasa sakit yang memastikan kamu tidak akan melupakannya.
Meski sulit untuk mengakuinya, nyeri itu bukan dimulai pada hari aku kehilanganmu. Pada hari musim gugur yang  cerah itu saat kamu menjauh dariku.
Bukan.
Pada hari itu aku hanya mati rasa. Tidak ada apa-apa. Mereka mengatakan kepadaku bahwa ini sangat mengejutkan, bahwa perlu beberapa waktu bagiku untuk mengetahui apa yang telah terjadi dan apa arti sebenarnya. Awalnya, ucapan belasungkawa, tatapan sedih, komentar-komentar sopan dari anggota keluarga yang sudah bertahun-tahun tidak kulihat, semuanya terpental begitu saja seperti hujan batu di atap mobil. Baru seminggu setelah pemakaman, rasa sakit itu benar-benar menyerangku. Setelah itu terjadi, dia yang mengambil alih.
Pagi hari adalah yang terburuk. Itu yang terburuk karena itu adalah saat-saat terbaikku bersamamu. Kamu selalu bangun sebelum aku, yang berarti biasanya kamu adalah hal pertama yang kulihat setiap hari. Senyuman nakal itu, bintik-bintik di wajahmu itu, suara lembut yang menenangkan dan meyakinkan itu.
Sekarang ketika aku bangun - bahkan jika aku tertidur - aku hanya melihat ranjang kosong. Satu atau dua detik yang berharga sebelum otakku menyadari bahwa aku sendirian di kamar tidur kita.
Kemudian rasa sakit mengambil alih.