Dia membuat anak-anak lain senang. Menghidupkan gajah yang meniup terompet dari bongkahan tanah. Angsa yang terbang dari bilah helai rumput ilalang. Dengan beberapa kata-kata tertentu, dia mengubah anak-anak yang bermain ayunan menjadi burung layang-layang saat mereka terbang dan kembali menjadi manusia saat mereka mendarat.
Suatu hari, seekor ular yang dibuat Sangria dari lompat tali muncul dan menggigit lutut sahabatnya Monique. Monique baru kembali ke sekolah setelah tiga hari di rumah sakit. Sangria takut dan patah semangat. Kepala sekolah melarang dia menggunakan sihir di sekolah sejak saat itu.
Istirahat menjadi hening dan khusyuk, seperti pawai pemakaman, seperti sebelum ada Sangria.
***
Sangria melanjutkan sekolahnya ke SMP. Sekolah ini jauh lebih besar dari sekolah dasarnya. Ibunya memindahkan mereka berdua ke kota yang lebih besar dengan harapan Sangria akan merasa lebih diterima di sini dan menemukan teman seperti dirinya.
Sangria tidak menemukan teman. Sangria bukan lagi anak yang istimewa.
Di kota ini, hampir semua orang melakukan sihir, bahkan beberapa guru juga. Sihir Sangria tidak sebaik mereka. Saat dia membuat kuda poni, mereka membuat kuda sembrani. Saat dia membangun sarang punai, mereka melahirkan banyak burung jalak bali.
Sangria tahu bahwa dia telah melakukan banyak kesalahan dalam merapal mantra-mantra. Dia bekerja keras untuk memperbaikinya, sambil diam-diam berharap untuk menghidupkan kembali perasaan yang dia rasakan di kotak pasir ketika umurnya masih lima tahun.
Dia tidak pernah mendapatkan perasaan itu lagi.
***
Belakangan, Sangria kuliah. Dia memperoleh gelar dalam Teori dan Terapan Ilmu Sihir, kemudian mendapat pekerjaan di Kota Besar dan pindah ke sana. Dia belajar bahwa sihir memang dimaksudkan untuk menjadi pelik, bahwa satu-satunya jenis sihir yang terhormat berasal dari kerja keras dan penderitaan.