Lari dari Kenyataan
Nenekku menghilang pada suatu sore musim kemaraau yang terik ke dalam layar bioskop Garuda Theatre. Dia sedang menonton film Aan Milo Sajna yang dibintangi Rajesh Khanna dan Asha Parekh, dan sangat menyukai film tersebut. Dia hanya perlu bangun dari kursinya yang dihuni kutu busuk dan bergabung dengan musik dan tari yang menyehatkan. Melepaskan pashminanya, dia meninggalkan kursi rotan bioskop dan berjalan menuju layar perak besar, menuju kehidupan baru, meninggalkan semua masalah.
Seorang pamanku yang sudah dipastikan bujangan, suka menonton acara musik di TV. Dia bermimpi menjadi bagian dari tim sepak bola nasional. Melepaskan tendangan bebas dari jarak tiga puluh meter ke gawang dal mencetak gol, bersenda gurau sambil merokok dengan Ronny Pattinasarany di ruang ganti saat jeda ketika Roni Pasla mengulang kisahnya menggagalkan tendangan Penalti Pele, Â gagal menjadi pemain profesional setelah bertahun-tahun bermain di liga tarkam. Maka pada suatu Minggu sore yang hujan, dia melompat dari kursi goyang kesayangannya dan mengendarai Honda CB100 hitam-putih, lenyap di udara meninggalkan rokok Kisaran yang masih menyala dan botol bir setengah kosong, dan tidak ada tetangganya yang tahu.
Adikku, seorang juru kamera di sebuah production house indie, selalu bermimpi untuk keluar dari balik lensanya untuk membintangi salah satu petualangan aksi fiksi ilmiah yang secara teknis hanya dia lihat di kanal SyFy. Untuk bergabung dalam perjuangan hidup dan mati melawan alien yang terinspirasi Edgar Rice Burroughs. Untuk mengemudikan kapal luar angkasa FTL yang megah ke dunia baru yang eksotis. Untuk menyelamatkan seorang putri galaksi dari nasib yang lebih buruk dari kematian. Akhirnya, tanpa menghiraukan makian sang Sutradara, pada suatu pagi dia melakukan lompatan besar menembus layar hijau menuju negeri impian seluloid. Para pemain dan kru menatap ke arahnya dengan tak percaya.
Dan masih ada banyak lagi. Seperti keponakan kecilku yang manis yang menghilang pada suatu malam di cermin kamar tidurnya, mencari pangeran tampan dan kerajaan peri magis seperti Cinderella.
Atau putra remajaku, kutu komputer, merangkak masuk ke dalam layar iMac 3,2GHz miliknya untuk menyatu dengan dunia maya, berubah menjadi avatar hebat rancangannya sendiri.
Dan terakhir, kucing van turki-ku, Aicha, yang kini berkedip-kedip keluar masuk antar dimensi sejajar sesuka hati. Namun, dia tidak pernah melewatkan waktu makan yang dijadwalkan secara rutin, dan tidak pernah kembali dengan burung mati dari dimensi lain yang tertusuk gigi taringnya yang tajam.
Dia selalu kembali, tanpa cedera dan membawa badai, tidak seperti semua orang lain yang meninggalkan keluarga dan teman-temannya untuk mengurus surat pengesahan ahli waris dari pengadilan yang tak ada habisnya, dan bertahun-tahun berdoa untuk semacam kejelasan masih hidup atau entahlah.
Banyak orang yang menyebut kerabatku sebagai orang yang egois. Sedangkan aku? Aku tidak punya niat meneruskan tradisi pelarian keluargaku.
Tidak ada gunanya memikirkan masa lalu. Aku punya banyak buku bagus untuk dibaca untuk melarikan diri dari kenyataan kapan pun aku mau. Untuk menghilangkan semuanya dari pikiranku.
Aku selalu dapat mengunjungi putraku di salah satu video game online favoritnya, menonton Netflix untuk kerabatku, dan mengandalkan Aicha untuk menemaniku, hampir sepanjang waktu.
Adapun pamanku? Poster dirinya dari tabloid olahraga sebagai pemain sepak bola pemula tidak akan pernah bernilai apa pun, tapi aku tetap menghargainya.
Cikarang, 10 Juni 2024
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI