Setiap orang diwajibkan hadir dalam Rapat Besar Rakyat Tak Terhingga. Begitulah sebutannya - karena rapat itu tak pernah selesai. Setiap hari, sejak fajar hingga fajar berikutnya, rakyat duduk di kursi-kursi besi berderet, menghadap mimbar kosong.
Mimbar itu kosong karena tidak ada pemimpin. Atau lebih tepatnya, pemimpin tidak boleh terlihat.
Pemimpin hadir melalui pengeras suara yang kadang berderak, kadang berbisik, kadang hanya memuntahkan dengung statis listrik.
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Demokrasi kita adalah kemerdekaan absolut!" suara itu berseru, kadang dalam nada keibuan, kadang bagai teriakan algojo kejam. "Setiap keputusan adalah hasil suara kalian sendiri."
Namun tak ada yang pernah benar-benar memilih. Kotak suara selalu disegel, kertas pemilihan dicetak tanpa tinta, dan spidolnya tak berwarna. Tapi setiap sore, pengeras suara mengumumkan hasil: rakyat telah bulat menyetujui kebijakan hari ini.
Tak ada yang tahu kebijakan apa yang dimaksud. Besok, jalan-jalan bisa dipersempit menjadi lorong satu arah yang buntu. Lusa, jam kerja diperpanjang tanpa henti sehingga para pegawai tidur sambil berdiri. Seminggu kemudian, buku-buku sejarah diperbarui: perang yang tadinya kalah kini tertulis sebagai kemenangan, dan kemenangan yang nyata disulap menjadi pengkhianatan.
***
Rian menahan kuap. Tugasnya sebagai pegawai Departemen Perhitungan Demokratis  sederhana: menghitung suara yang tidak pernah diberikan. Setiap pagi dia menerima setumpuk kertas kosong dengan stempel "Sah" pada semuanya, lalu memasukkannya ke dalam lemari besi.
"Berapa jumlah suara hari ini?" tanya atasannya, seorang pria tanpa wajah yang selalu mengenakan topeng kain kafan putih.
Rian menjawab, "Sama seperti kemarin, Pak. Tak terhingga."