"Ada apa?" tanyanya, sambil menurunkan implan pengendali emosinya ke 'khawatir'.
Aku memperhatikan alisnya berkerut dan mulutnya berubah dari senyum menjadi cemberut. Perubahan itu terjadi secara bertahap, seperti tetesan air yang mengalir di jendela.
"Benda sialan itu rusak." Kata-kata itu terdengar salah ketika keluar dari mulutku yang tersenyum.
"Terjebak dalam kebahagiaan?" tawanya, sambil menaikkan nada main-main. Dia menyukai suasana seperti itu.
"Tidak, aku ingin bahagia," jelasku. "Tapi aku tahu benda sialan itu rusak."
Aku menjentikkan jariku di monitor pergelangan tangan. Bukan karena kesal.
Aku tidak bisa merasa kesal saat ini. Aku hanya bisa merasakan kegelisahan kekanak-kanakan dan perasaan bergelembung di dadaku.
Sukacita. Kegembiraan. Kehampaan.
"Kamu tampak cukup bahagia bagiku," katanya, sambil memainkan rambut di leherku. "Kita bisa coba pengaturan lain, kalau yang ini tidak cocok untukmu."
Aku tahu apa yang akan dia lakukan sebelum melakukannya. Benar saja, sementara satu tangan masih di rambutku, tangan yang lain bergerak ke implan di pergelangan tanganku. Tapi aku sedang tidak ... mood? Aku meletakkan tanganku di tangannya.