"Aku akan membawanya ke bengkel. Memperbaikinya."
Tangannya kembali ke posisi semula dan berhenti di sana. Mungkin dia tidak tahu emosi apa yang pantas.
Aku tidak memperhatikan emosi mana yang dia pilih, tapi dia terdengar kurang ceria ketika berbicara lagi.
"Mungkin kamu harus bersedih sebentar saja, kalau itu yang kamu mau."
Kesal.
"Tidak ada yang ingin bersedih," desahku, menatapnya dengan pandangan melamun. "Bahagia itu indah. Tidak ada kekhawatiran. Tidak ada stres. Itulah mengapa kita semua membawa benda-benda ini di pergelangan tangan kita."
Di suatu tempat dalam diriku, aku tahu penjelasan ini takkan meyakinkannya, terutama ketika aku menolak mengubah sikapku agar sesuai dengannya. Tapi aku tak bisa melepaskan kebahagiaan ini, optimisme ini. Itulah yang kubutuhkan saat ini. Yang sangat kuinginkan.
"Terserah, aku akan lihat apa yang Gabriel rencanakan," katanya, tiba-tiba berdiri. Dia berubah menjadi marah.
Sumpah, terkadang aku bahkan tak melihat tangannya bergerak ke implannya sendiri.
"Atau mungkin kau bisa berhenti paranoid, alihkan dirimu menjadi cemburu untuk sementara, dan hentikan aku."
Aku duduk diam sementara dia berdiri di sampingku, mata tertuju pada pergelangan tanganku.