Aku duduk di kantin gedung, berbagi meja dengan Presiden Direktur, yang tampak seperti orang yang sangat baik.
Aku tidak tahu banyak tentang dia saat itu, tapi dia fans berat Manchester United, dan menawarkan untuk menambahkan gula pasir ke dalam kopi hitamku, dan ingin tahu bagaimana kabar istriku.
Aku bilang padanya aku belum menikah. Dia mengangguk. Dia ingin tahu alasannya.
Aku bilang padanya aku tidak tertarik dengan pernikahan, karena dalam pernikahan biasanya selalu terjadi masalah. Ada banyak wanita yang bersedia membantu seorang pria lajang dengan keuntungan yang yang didapat oleh pria yang sudah menikah, jadi mengapa repot-repot memelihara sapi hanya untuk minum susu?
Karena dia tampak sangat ramah, aku memutuskan untuk mengajukan pertanyaan kepadanya.
"Tentang mantan COO perusahaan, apa yang terjadi padanya? Maksud saya, mengapa Bapak memecatnya?"
Dia mengangkat bahu. "Saya tidak menyukainya lagi. Saya tidak senang dengan cara dia bekerja."
"Dia tidak mungkin sampai sejauh itu di sini jika dia malas. Apakah dia menjadi terlalu sombong atau tak mampu menghadapi tantangan pekerjaan?"
Dia menambahkan lebih banyak gula ke dalam cangkir kopi dan tersenyum masam. "Sesederhana itu. Saya berhenti menyukai cara dia bekerja. Saya tidak bisa terus-terusan menghadapi hal-hal yang tidak membuat saya bahagia di tempat kerja."
Mengapa ada orang yang memilih bersedih saat kebahagiaan ada di luar sana? Siapa yang mau menempuh perjalanan jauh selama berhari-hari kalau bisa terbang dengan pesawat terbang dan tiba di sana lebih cepat dan menempuh jarak tujuh kali lipat?