Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalinan Benang yang Hilang

6 Agustus 2025   08:31 Diperbarui: 6 Agustus 2025   08:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Karena tidak mampu lagi menaiki tangga, lelaki tua itu membuka lipatan selimut dan meletakkannya di atas sofa. Selimut yang sama yang mereka bentangkan di halaman rumput, di pantai. Di mana mereka membuang remah-remah makanan, menumpahkan minuman, berpelukan....

Selimut yang melembutkan kehidupan musim liburan mereka.

Dia menyelipkan ujung yang berjumbai di bawah bantal yang tepos, sekencang yang bisa dilakukan oleh jari-jari tangan penderita rematik.

Di musim hujan, tenunan kasar yang menutupi lutut dibiarkannya kedinginan. Kini, saat lebarnya semakin menipis--seperti diriku, pikirnya--selimut itu memberikan kenyamanan. Kenyamanan saat mengharu biru kenangan.

Dia berbaring menyamping, dan memiringkan kepalanya sehingga foto itu memenuhi pandangannya. Berwarna mencolok dan berbintik, hari-hari terbaik: tahun 1980-an, dan dia. Selimutnya, yang masih baru, melindungi kakinya dari gunduk rerumputan yang tajam bergerigi. Cukup lebar untuk menampung tas tangan wanita, keranjang piknik mereka, sepatu kets pria, dirinya, dan dia.

Kaki-kaki--kaki mereka berdua--dan kacamata hitam. Senyum. Gigi depannya tak rata. Lipstik menempel bagai lak penyegel dokumen akta notaris. Dan gaunnya, tentu saja, gaunnya.

Lelaki tua itu menghela napas lemah tanpa energi. Tak ada lagi energi yang dia gunakan untuk berbicara dengannya. Gairah yang dia miliki untuk menciumnya, kehidupan yang dia bagikan dengannya.

"Terlalu lama," katanya dan berbalik, dengan susah payah, untuk menutup kain yang disampirkan di sandaran sofa. Tenunan kekuningan bertabur bunga sakura kini memudar. Memudar seperti kenangan. Kenangan yang semakin pupus saat dia meletakkannya dan menutup matanya.

Jahitan di bahunya mengumpulkan lipatan kain tenun halus. Dia mengelusnya, mengisi tulang selangkanya, bagai membelai payudaranya yang membengkak. Tangan lelaki tua itu bertahan, menggosok-gosok, menghangatkan kain dari luar, seperti detak jantungnya yang menghangatkannya dari dalam.

Lalu ke bawah, sapukan ke pinggang tempat lekuk lingkaran yang sudah lama hilang dari ikat pinggangnya, malah tersangkut di ibu jari. Tegas, seharusnya begitu. Kuat. Dan turun lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun