Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajan

2 Agustus 2025   09:25 Diperbarui: 2 Agustus 2025   09:25 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku memulai cerita ini dengan mengatakan Poltak pembohong. Poltak benar-benar pembohong jika kalian pernah mengenalnya, tapi aku akan ditembak dan digantung jika membiarkan dia lolos dengan kebohongannya.

Dia pria yang lucu, si Poltak. Lucu sekali. Jadi saat dia menceritakan padaku bagaimana Nona Arumi, wanita baik di sebelah - bahwa wajannya bisa mengetahui bagaimana seseorang akan mati, aku menyuruhnya untuk lanjut bercerita.

***

1963

Roti panggang kakek Nona Arumi memiliki pola petir yang menyambar di salah satu sisinya. Menurut mereka itu bagus. Mereka berfoto dengannya, karena apa lagi yang bisa dilakukan di tahun lima puluhan. Terkena TBC?

Kakek Nona Arumi menganggapnya bagus, menampar istrinya karena bersikap kasar, dan pada saat itu menampat istri tidak masalah, lalu pergi bekerja. Dalam perjalanan pulang dia tersambar petir dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Renyah seperti roti panggangnya.

***

1983

Wajan kakek Nona Arumi memiliki pola - yang menempel di dasar wajan setelah dipakai memasak - mirip simbol palang merah. Dalam perjalanan pulang kerja, seorang pria membuat bagian depan ambulans ringsek dengan wajahnya.

***

2003

Ayah Nona Arumi muda mendapat sepotong roti panggang yang terlihat seperti cipratan darah. Dampak selai stroberi. Dia tersandung dan tertabrak truk. Dan tahu apa yang lucu? Selai stroberi dimana-mana.

Sekarang Poltak menegaskan kepadaku bahwa seperti para Arumi sebelumnya, dia akan terbunuh oleh benda yang jatuh, karena roti panggangnya memiliki tanda berbentuk landasan yang samar-samar terbakar di dalamnya. Aku tertawa, katakan padanya semuanya akan baik-baik saja asalkan dia membayar utangnya pada bosku.

Aku juga bilang padanya kalau semua orang tahu benda terkutuk hanya berdampak pada keluarga tertentu. Itu dasar ilmu gaib.

Dia bilang aku penuh kutukan, utangnya sudah lunas, dan aku tidak akan bisa membedakan barang bekas denagn sampah karena aku tidak bisa membaca.

Aku bertanya, "Apa maksudnya?"

Dia menjawan, "Persis."

Aku bilang, "Gini, bos bilang kamu belum bayar. Aku tidak akan kembali dan memberi tahu bos, 'hei, periksa kembali buku besar. Aku yakin bos salah membacanya, bodoh.' Kamu tahu siapa yang melakukan itu, Poltak? Orang mati. Orang mati memberi tahu atasan mereka bahwa mereka bodoh."

Dia berteriak padaku bahwa utangnya sudah dibayar. Aku memberitahunya dengan tegas dan sangat keras untuk berhenti berteriak. Dia menyebutku munafik.

Aku bilang, "muna... apa?"

Aku berpura-pura bodoh. Orang benci saat kita bepura-pura bodoh.

Kami bolak-balik bertanya jawab seperti itu sebentar. Akhirnya, dia bilang dia akan menuruni tangga besar itu keluar apartemen, dan aku tidak akan dapat melakukan apa pun untuk menghentikannya.

  Aku membiarkannya menuruni tangga yang panjang sementara aku dengan tenang pergi ke kamar sebelah dan bertanya pada Nona Arumi apakah aku boleh meminjam wajannya. Dia memberikannya padaku dan tersenyum cerah karena menurutnya aku tidak tahu kalau dia jatuh cinta padaku... atau dia mungkin hanya bersikap sopan.

Mungkin lebih bijaksana untuk bertanya tentang hal itu nanti.

Aku melihat ke arah Poltak, yang sekarang berjalan menuruni anak tangga. Aku melihatnya pergi, melemparkan wajan berat itu ke atas dan ke bawah di tanganku beberapa kali.

Wajan itu cukup kokoh untuk bertahan selama enam puluh tahun pemakaian dengan sedikit perbaikan. Saat aku merasakan beratnya wajan, aku melihat Poltak pergi dan menjatuhkan wajan.

Kamu tahu? Wajan itu baik-baik saja. Poltak tidak. Ramalan yang terwujud dengan sendirinya. Aku membersihkannya, memanggil orang-orangku untuk membuang mayatnya, dan mengembalikan wajan itu. Kami makan roti panggang dan minum teh hijau keesokan paginya.

Cikarang, 27 Desember 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun