Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Keflavk International Airport, aku mengendurkan peganganku pada kemudi Hyundai mungil itu. Keteganganku memudar seperti awan tebal yang melayang di langit.
Agen rental mobil itu memberiku payung beserta kunci mobil.Â
"Musim panas Islandia," katanya sambil tersenyum lebar.Â
Ada keceriaan kolektif asoe lhok, pikirku, mengingat istilah yang dicetuskan ibuku terakhir kali kami di sini.
Memikirkan ibuku membuatku panik.Â
Bagaimana kalau dia meninggal, sendirian, ketika aku berada di belahan bumi lain?Â
Bahwa aku di sini atas permintaannya tidak akan berarti apa-apa. Aku membayangkannya, dengan morfin yang perlahan menetes ke dalam tubuhnya, bertanya kepada perawat rumah sakit di mana anak-anaknya berada. Pulang ke rumah tanpa saudara kembarku adalah hal yang mustahil.
Aku tidak pernah bertemu atau berbicara dengan Hussein selama hampir dua puluh tahun. Setelah dia keluar dari klinik untuk terakhir kalinya, dia menghilang dari kehidupan kami. Ketika ibu kami mendapat diagnosisnya, aku pergi menemui mantan pacarnya dan mengetahui bahwa dia telah pindah ke Islandia.
Sebelum pergi, aku mengambil foto lama kami dari rumah Ibu. Foto itu diambil saat liburan Hari Raya Idul Fitri tahun pertama kami kuliah di Uppsala. Aku bertanya-tanya apakah aku akan mengenali Hussein sekarang. Terakhir kali aku melihatnya, wajahnya ditutupi janggut yang tidak terawat.Â
Tapi aku pasti mengenali matanya. Mata itu, sewarna laut tanpa dasar yang memohonku untuk mengeluarkannya. Mata yang sama yang menatapku setelah obat-obatan itu merasukinya.