Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tentang Bionarasi

5 Mei 2023   19:31 Diperbarui: 5 Mei 2023   19:46 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Seorang anak masuk ke ruang kelas lima pada hari tugas mengarang tentang hewan peliharaan harus dikumpulkan. Ketika dia menyerahkan karangannya, guru melihat bahwa hanya ada beberapa catatan yang ditulis pada beberapa baris pertama, dan tidak ada lagi yang lain.

"Di mana sisanya?" tanya guru. "Sisanya," anak itu menjawab, "hening."

Aku suka syair karena caranya mengedepankan kehadiran dan ketidakhadiran, panel suara melawan dan di tengah keheningan yang menghancurkan atau memperkuat. Lirik yang mendebarkan, bagiku, bersifat dinamis: satu tekanan mendorong yang lain. Suara membuat dan mengubah dirinya sendiri. Mereda, memutar dan mengisi serangan baru pada kosong, sementara halaman selalu mendapatkan kata (non-) terakhir, selalu membunyikan jawaban lengkap yang tak ada bandingannya.

Tapi akhir-akhir ini aku menulis prosa, dan alasannya adalah ini: hanya sedikit keheningan dalam hidupku saat ini. Aku tidak merasa didorong atau diejek oleh keheningan. Kalaupun ada, aku mengalami terlalu banyak umpan balik yang melolong, terlalu banyak kebisingan statis dan bergejolak dari dunia non-aku, yaitu media cetak, elektronik, audio dan visual, retorika agama dan politik, dan lain-lain. Dan itu belum lagi dengungan yang berasal dari laring dan mangkuk kecilku sendiri.

Jadi puisi bagiku saat ini adalah jenis tekanan baru: Aku ingin membuat umpan balik, suara statis yang berisik, lolongan planet bumi sendiri.

Aku suka puisi prosa karena menghapus kesunyian selama keberadaannya. Aku suka mengisi seluruh larik, seluruh halaman, banyak halaman. Pada saat yang sama, aku menyukai kefanaan, keberadaannya yang 'berkedip dalam panci'. Ada kejujuran di dalam. Aku suka itu mengekspos diri sendiri. Semuanya ditampilkan dalam sebuah kalimat. Dan, Astaga, jika aku bisa menulis puisi seperti kilatan petir di kegelapan, di malam hari, atau puisi yang memiliki kesegeraan singkat yang menakutkan dari pemandangan mengerikan beberapa anggota tubuh yang terbuka, ditambah perasaan setelah kontaminasi yang mengerikan. yang didapat saat tebing parit runtuh lagi... Aku akan sangat senang.

Jika karyaku tidak berfungsi sebagai fiksi kilat, maka demi Tuhan, biarkan aku menjadi penyair puisi kilat.

Cikarang, 5 Mei 2023

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun