Baku tembak semakin seru. Langkaseh berguncang.
Malin mengutuk Hungyatmai karena memulai pertempuran baru dengan Dunia Barat. Dari seluruh tempat di Batas-Tak-Betuan, Â justru memiluh tempat di atas kedai minumannya.
Sepertinya Sukhorn bertekad untuk merampas setiap kepeng miliknya. Bencana di Tiwalustika tiga tahun lalu, ketika si Hungyatmai menggagalkannya untuk mendapatkan kekayaan yang dalam salah satu rencananya, tidaklah cukup. Tidak. Sukhorn ingin melihatnya jatuh melarat dan terkubur di lembah nista.
Lebih dari itu, perang babak baru akan menghancurkan Dunia Timur. Mereka baru saja pulih sejak gencatan senjata. Bangsa Barat pasti memiliki sumber daya yang besar untuk segera mendatangi mereka lagi dan jauh di sini di Batas-Tak-Bertuan. Malin benar-benar khawatir. Jika Bangsa Barat bisa bepergian ke sini tanpa tertangkap, di mana lagi mereka akan menyerang?
Atau mungkin dia seharusnya tidak terlalu khawatir, karena mereka memang harus menyelinap ke sini untuk melenturkan otot kekejaman mereka. Langkaseh tidak bisa melawan balik. Mungkin itu intinya.
Malin berharap suar peringatan dini yang dikirim Dikker bisa menggapai Otoritas Persemakmuran Suku-Suku Dunia Timur, meski kemungkinannya sangat kecil karena aral pelintang yang di pasang oleh muka pucat sangatlah kuat.
Desingan dan dentuman yang semakin keras membuatnya berbalik. Semburan jelaga hitam di cakrawala semakin mendekat seperti badai halimun.
"Hungyatmai hampir mencapai kita." Malin mengi dan terbatuk, mendorong corong tabung pernapasan di antara bibirnya, menraik napas dalam-dalam.
Lubang debu di kedua sisi bersendawa, mengirimkan gumpalan abu halus yang melayang di udara seperti kabut, menambah kegelapan langit.