Meski rumah sakit baru saja direnovasi, bau antiseptiknya tetap sama saja dengan semua rumah sakit. Tidak peduli berapa banyak pemutih yang digunakan, Gustian masih menganggap semua rumah sakit berbau pesing dan kematian.
Andam datang menemui Gustian setelah sepuluh tahun, dan yang ingin Gustian lakukan hanyalah membawanya ke rumah sakit. Andam setuju. Andam hampir selalu membiarkan dia mengajaknya jalan. Hari ini tidak berbeda.
Gustian membimbingnya menaiki tanjakan berhiaskan gambar yang dibuat oleh anak-anak.
Pasien kanker, jelasnya. Bukan Andam yang bersamanya selama berbulan-bulan kemoterapi, melainkan mendiang istrinya.
Gustian membuka pintu kaca dan melangkah bersama Andam ke taman di atap. Jalur kayu melengkung melewati rerumputan dan bakung yang mekar awal. Ada dinding kaca yang menghadap ke cakrawala pusat kota. Andam berjalan ke kaca dan menyentuhnya dengan jari-jarinya dan tersenyum.
"Mengingatkanku pada apartemenmu di Selatan."
Tiba-tiba, Gustian ingat tempat itu. Rumahnya ketika Andam meninggalkannya.
"Kalau kita berdiri dengan cara tertentu, kita bisa melihat Menara Jam."
Gustian ingat itu juga. Ingat malam terakhir Andam di sana. Lengannya melingkari bahu kekasihnya itu, sementara Andam meletakkan dagu di bahunya. Bersyukur Andam ada di sana, tapi masih membencinya karena menyerah pada saat itu.
Dia menikah dengan orang lain. Akhirnya, Gustian juga.